By: Wahyudi El Panggabean
“Sepanjang sejarah Riau, ini pertama kali Gubernur meng-konstitusikan atau diskriminasi terhadap institusi Pers, yang semestinya dia bina”.
TERINGAT, “Lokakarya” Sosialiasi Korupsi untuk para Pemimpin Redaksi media cetak di Hotel Dian Graha, Sepuluh (10) Tahun silam.
Diacara yang difasilitasi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), aku mempertanyakan apakah ada indikasi Korupsi dalam kontrak kerjasama media dengan pihak Pemerintah Daerah di Riau?.
Setelah membeberkan motif operasional (aturan main) program kerjasama itu, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menjawab dengan lugas:
“Apa yang Anda kemukakan, jelas sekali terindikasi korupsi. Anda hanya perlu cari bukti pendukung untuk melapor kepada kami (KPK,red),” katanya.
Sebenarnya, pertanyaan ku-ajukan kala itu, hanya untuk melengkapi data peneltian Tesis-ku pada Jurusan Hukum Tata Negara, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Riau (PPS-UIR).
“Implementasi Kemerdekaan Pers dalam Perspektif UU No.40 Tahun 1999 pada Kontrak Halaman Surat Kabar di Riau” mengusung hipotesis:
Masihkah wartawan memiliki kemerdekaan ketika institusi tempatnya bekerja sudah mengikat kontrak dengan Pemda?.
Dugaan terbukti. Intinya, Wartawan kehilangan kemerdekaannya. Kerugian yang diderita para Jurnalis tidak sebatas kehilangan hak-nya yang paling esensial dalam mengontrol aktivitas pemerintahan di daerah. Juga eksis “membenturkan” para Jurnalis dengan pimpinan mereka.
Langkah awal media yang ber-pos di Humas dijadikan “ujung tombak” oleh pemilik media untuk merintis kerjasama. Iming-imingnya: Yah komisi sekian persen.
Mendengar angka-angka fantastis janji success fee Wartawan tergiur. Lantas, apa lagi. Angka yang dijanjikan itu terus mengerucut seiring dengan harapan segar dari pihak Pemda.
Hingga tibalah saat pencairan, 20 persen success fee yang dijanjikan berubah jadi sagu hati. Hanya satu persen.
Padahal, begitu berat beban wartawan untuk mengawal mulai pengajuan anggaran hingga pencairan. Mengalah untuk tunduk pada otoritas Pejabat Humas.
Pemilik media tidak juga bisa disalahkan. Sebab, banyak pundi-pundi yang mesti diisi pihak Humas dari dana kerjasama itu.
Tetapi, imbasnya lebih mengiris hati. Beberapa wartawan memilih berhenti dan mencari media lain untuk sekadar bertahan hidup.
Realitanya kian pelik, kala menelisik sumber dana justru bersumber dari APBD. Artinya, sesungguhnya masyarakat Riau lah yang paling dirugikan sebagai pendana program ini.
“Coba bayangkan, yang mendanai masyarakat. Yang kehilangan informasi kebenaran justru mayarakat”.
Malah mereka harus membeli koran yang mereka danai untuk menonton parade success story pejabat mereka di media yang mereka beli.
Toh, sedahsyat apapun dugaan kolusi dan dugaan korupsi dalam program kerjasama yang sudah ada sejak era Orde Baru itu, belum pernah terkonstitusi berupa sebuah peraturan.
Atas dasar itulah Pergubri No.19 Tahun 2021 tentang Penyebarluasan Imformasi terasa sebuah langkah luar biasa.
“Sepanjang sejarah Riau, ini pertama kali Gubernur meng-konstitusikan-diskriminasi terhadap institusi pers, yang semestinya dia bina”.
Atas dasar Legitimasi Dewan Pers sebagian besar media didiskriminasi. Tidak diurutkan dalam kerjasama itu. Di balik kerja sama itu sejumlah uang to…
Wajar jika ratusan pemilik media reaktif. Karena merasa didiskriminasi. Mereka melakukan protes. Baik melaui surat maupun pemberitaan yang rutin. Konon, demo besar-besaran sudah dirancang.
Terlepas dari polemik Pergubri ini, bagi saya sebagai Jurnalis yang dibesarkan di media profesional, program ini sudah barang lama.
Tetapi, masih merupakan sebuah pintu masuk melakukan investigasi dugaan korupsi dalam operasionalnya.
Drs.Wahyudi El Panggabean, MH, Direktur Utama Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC).