Perlu Hijrah untuk Memandang Rohil Lebih Leluasa

Perlu Hijrah untuk Memandang Rohil Lebih Leluasa

Menunggu “Bom Waktu” Meledak

By: Rahmad Sutiono

 

Memandang Rokan Hilir (Rohil) dari Pekanbaru, seperti menonton pertandingan sepak-bola dari tribun. Pemandangan yang leluasa. Akan kelihatan apakah permainan berlangsung fair-play atau hanya bermain “kotor“.

Wasit, yang berada di area laga sekalipun memiliki pantauan terbatas. Karena dia memang berada di posisi ketinggian, sejajar dengan pemain.

Seperti halnya Aparat Penegak Hukum yang kini bertugas di Rohil. Tentu saja, keleluasaannya, demikian terbatas, jika dia tidak menentukan titik pandang.

Sisi tepat sebagai tumpuan berdiri sangat berpengaruh untuk menemukan sudut pandang. Rohil memang: Syarat Masalah.

Mungkin, inilah salah satu makna terbesar buat saya untuk hijrah ke Ibu Kora Provinsi. Suatu keputusan pahit. Tetapi harus ditelan. Kenapa tidak?! Kalau memang bisa jadi obat…
Goodbye Rohil. Welcome at Pekanbaru.

Berita terkait:

Sebagai seorang Jurnalis, ini sesuatu yang menantang. Paling tidak, bisa melihat lebih lengkap peripersoalan yang kini membelit “Negeri Seribu Kubah” itu.

Jadi teringat suatu momen berharga di penghujung tahun 2020 di Restauran Hotel Lion, hotel terbesar di Bagan Siapiapi, Ibu Kota Rohil. Hmmm…

Mungkin ini, bukan sesuatu yang kebetulan. Jika siang itu, saya bertemu dan berbincang dengan mantan Bupati Rohil sekaligus mantan Gubernur Riau, Anas Maamun.

“Atuk” Anas pasca persemediannya di “Hotel Prodeo”, sontak muncul di Rohil menjelang Pilkada.

Dengan gaya khasnya, yang tentu saja, belum berubah. Atuk bercerita panjang tentang banyak hal. Tentang banyak problema. Tentang titik-titik “Bom Waktu” yang tertanam di berbagai sudut Rohil.

“Suatu saat, semua bom itu pastilah malotuih. Hahahahahaha,” Atuk terbahak. Tertawa lepas. Sampai terligat butiran air di sudut mata kirinya.

Dari beberapa masalah krusial yang diceritakan Atuk tersebutlah: permainan proyek, plasma dari PT kebun sawit yang terus menipu masyarakat penerima plasma dan perambahan hutan illegal yang berkedok Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) kelapa sawit, yang dipayungi sebuah Assosiasi.

“Assosiasi ini yang harus ditelusuri. Sebab, ini tidak ada manfaatnya bagi masyarakat Rohil. Hanya kebohongan belaka!” Atuk bicara tegas.

Dari cerita Atuk secara blak-blakan itu, tersimpul indikasi dan motif kerakusan banyak oknum dalam aktivitas perambahan hutan untuk memenuhi ambisi memiliki kebun sawit di Rohil.

Atu kemudian, secara gamblang menunjuk hidung salah seorang oknum yang secara buas memangsa kekayaan alam Rohil untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

“Dulu saya ditikamnyo dari belakang. Awak sangko nyo kawan kironyo lawan,” Atuk kemudian memperkuat tudingannya dengan sederet bukti.

“Ini manusia memang superjahat. Rohil akan hancur. Sudah hancurr dahhh,” kata Atuk, sedikit emosi.

Prosesi pembohongan terhadap masyarakat Rohil, lantas menjadi titik penekanan cerita Atuk. Diceritakannya secara jelimet. Terstruktur, tanpa merahasiakan identitas oknum.

Terkesiap juga saya, saat mendengar sebutan identitas orang-orang yang ikut bermain dalam perambahan hutan Rohil itu.

Masalahnya, hingga saat ini prosesi perambahan hutan itu masih terus berlangsung. Malah terus menggurita ke mana-mana.

Artinya, proses pembohongan masyarakat perdesaan Rohil dengan iming-iming kebun kelapa sawit masih terus berlanjut.

Sementara Tim bentukan Provinsi Riau yang diharapkan bekerja menangani kasus ini, mulai lenyap dari hiruk-pikuk berita media.

Atau mungkin kalah nyali dengan pola permainan sederet oknum yang lebih lihai menebar pengaruh. Entahlah. Yang pasti, hampir semua ikut bermain mulai dari pusat, provinsi dan kabupaten.

Orang-orang yang selama ini, terlihat sebagai pahlawan, ternyata bajingan. Setidaknya, setelah penuturan Atuk anas secara lugas.

“Malah dalam permainan ini, wasit sudah ikut menendang bola dan ikut bermain,” kata Atuk.

Persoalan Rohil hari ini, terasa lebih jelas dipandang dari Pekanbaru. Sekali lagi, inilah makna hijrah saya. Saya beroleh sudut pandang baru. Lebih jelas. Objektif.

Nah, siapa saja mereka yang disebut Atuk Anas itu? Ikuti tulisan selanjutnya….
(Bersambung).**