Tahun Anggaran 2016 sudah berakhir lebih kurang 4 bulan yang lalu. Sementara Tahun Anggaran 2017 sudah berjalan pula hampir 4 bulan lamanya.
Diujung tahun sebelum APBD-P disahkan, kita dan rakyat awam disuguhi berita tentang DEFISIT. Berita ini mengalir kemana-mana dan angkanya pun tak pasti sampai hari ini dan detik ini. Dari penelusuran dilapangan, ada empat varian : Rp 475 M ; Rp 812 M ; Rp 200 M dan terakhir Rp 264 M.
Mengapa kita defisit, itu juga tidak penah diekspos. Yang terdengar sayup-sayup duit pusat tak mengalir. DBH (Dana Bagi Hasil) dipotong dan lain-lain. Tapi hasil audit kinerja kita berada diposisi 11. Yang artinya, kita terendah kedua dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan pun berlalu – Januari, Pebruari, Maret dan April 2017. Mei tinggal menunggu beberapa hari lagi.
Isu DEFISIT menyebabkan Gaji (ASN dan HONORER) hampir tak terbayar, sempat memercikkan api kemarahan dan kegelisahan. Kini api itu mulai meredup, meskipun sebenarnya bak api dalam sekam. Dikatakan tidak ada api, asapnya kadang-kadang muncul membuat sesak nafas, apalagi bagi ASN dan HONORER yang punya riwayat penyakit ASMA, harus menyiapkan tabung oksigen. Informasi nya, GAJI sudah diangsur, tapi Tunjangan dan variannya belum. Pola penyelesaian ini menerapkan konsep “Secrect and Unvoiced Management” (Manajemen Rahasia dan Tanpa Suara). “Apalagi untuk Legislatif, Semua kabarnya sudah cair. Alhamdulillah…”
Yang tetap menjadi ganjalan adalah persoalan tenaga HONORER. Berapa jumlah idealnya di Kabupaten ini sampai sekarang kebijakannya hampir tak terdengar, sama dengan cara masuknya tenaga HONORER. Tanpa suara dan sangat rahasia, tau-tau jadi membumbung. Tinggi, tinggi sekali. Angkanya pun bervariasi mulai dari – 12 ribu, 14 ribu dan 19 ribu. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa hasil audit berjumlah 9 ribu. Banyak statemen dari elit birokrasi, jumlah tenaga HONORER yang besar sangat memberat kan APBD. “It’s slip of the tongue. Sure !”
Baca juga:
* 17 TAHUN KABUPATEN ROKAN HILIR
* “ASN DAN HONORER – NASIBMU KINI”
Awal April 2017, ada riak baru – tuntutan Komunitas Pers kepada Sekwan dan Pemkab – Masalah Kontrak Media. Lalu muncul dialog Komunitas Pers dengan Sekwan, tapi anehnya Sekwan didampingi anggota Legislatif. Lah… apa kepentingan Legislatif disini. Idealnyakan Sekwan didampingi, Kabag Umum, Kabag Keuangan dan Risalah. Sekwan menerapkan konsep “Management by Safety” (Manajemen Asal Selamat). Cari gantungan ke Legislatif agar tidak babak belur. Saya hadir melihat sebentar, tapi keluar. Ini sesungguhnya urusan Pimpinan Perusahaan Pers, bukan wartawan, apalagi Pimpinan Umum dan Redaksi.
Dialog Komunitas Pers berlanjut dengan Pemerintah Kabupaten yang dalam hal ini diwakili SEKDA, Drs. H. Surya Arfan, M.Si. Kita tidak mengetahui, apakah SEKDA didampingi oleh Kabag Humas atau tidak. Tapi hasilnya juga tidak jelas. Hanya janji. Disini muncul lagi cabang baru, “Management by Promise” (Manajemen Janji).
Masih di bulan April, terjadi dialog antara Asosiasi Kontraktor yang ada di Kabupaten Rohil dengan Pemkab. Pemkab diwakili oleh SEKDA. Asosiasi menuntut pemerintah Kabupaten tentang kepastian tanggal pembayaran proyek Tahun 2016.
Sebelum dialog terjadi, saya sedang berada di Kedai Kopi. Diajak oleh teman-teman, saya jawab malas. Tetapi usai dialog, salah seorang peserta meminta pandangan saya terhadap “hasil dialog” tanpa “hasil”, baik kejelasan jadwal mau pun aspek hukumnya. Saya hanya diam sejuta bahasa.
Tapi ada yang menarik dari dialog tersebut, yakni ucapan SEKDA. “Mengapa menuntut kepada saya”, katanya. “Yang berhutang kan Pemerintah Kabupaten. Kami pun sampai saat ini belum menerima tunjangan”. Inilah teori baru Management, yakni “Escaping Management” (Manajemen Melarikan Diri), bukan “Problem Solving Management” (Manajemen Menyelesaikan Masalah).
Tuntutannya begini, “Kontraktor menyuarakan tuntutan mereka, pemerintah menyuarakan persoalan mereka. SEKDA tak mau dituntut. Tunjangan mereka dan variannya sampai saat ini belum dibayarkan. Lah, opo iki Rek, Rek, Rek…….. !!! SEKDA kan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bro.
Hasil dialog dengan SEKDA sebagai Ketua TAPD adalah janji tanpa ada hukum yang mengikat. Kalau ada duit, dibayar. Kalau tidak ? ya “Bersabarlah dan marilah kita berdoa bersama-sama. Mudah-mudahan DUIT pusat segera mengucur”. No way out (Tak ada jalan keluar).
Hampir 2 tahun saya “diajak aktif” di Asosiasi Kontraktor dan 1.5 Tahun didaulat menjadi Ketua Forum Asosiasi Kontraktor Kabupaten (Himpunan 5 Asosiasi), saya telah merasakan posisi kontraktor “Anak Negeri” diposisi yang lemah dan sulit. Untuk mencari dan mendapatkan Proyek saja sulit bersaing dengan “Orang Luar“, apalagi untuk menjadi besar. Jika pun dapat, semua lewat perjuangan yang luar biasa, dobrak sana, dobrak sini. Jauh beda dengan “Kontraktor Elit” atau punya link dengan kelompok elit. Sangat mudah dan gampang. Akhirnya kontraktor anak negeri ibarat ayam mati dilumbung padi. “Padinya banyak yang makan orang lain”.
LANDASAN DIBOLEHKANNYA TUNDA BAYAR
Menurut sumber-sumber terpecaya, baik di Eksekutif maupun Legislatif, dasar dibolehkan nya TUNDA BAYAR untuk pekerjaan Tahun 2016 adalah Permendagri No. 31 Tahun 2016. Jujur, Permendagri ini sesungguhnya mengatur TATA PENYUSUNAN APBD 2017, PROSEDUR yang harus ditempuh oleh Propinsi dan Kabupaten.
Tapi pengalaman Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) lain menyebutkan kesepakatan pembayaran tunggakan ke pengusaha dilakukan sebelum APBD-Perubahan disahkan, yakni sebelum APBD-P Tahun 2016 disyahkan.
“Yang jadi masalah adalah : Adakah klausul dalam PERDA APBD-P 2016 menegaskan hal ini ?”
Saatnya KRITIS meskipun disebut TUKANG HALAU. Saatnya NYINYIR meskipun disebut BUDAK PAYAH. Saatnya mengerti HUKUM, meskipun disebut BUDAK TAK TOPAKAI.
Anda tau inilah tipe “HATING MANAGEMENT” (Manajemen Kebencian). Tak ada dalam kamus Manajemen. So ….. Keep in straight path. Allah knows everything. (Ikhlas karena Allah semata).
Konsep manajemen yang kita pakai beralur dari konsep berfikir kita. Jika konsep berfikirnya positif, ia akan menerapkan konsep manajemen yang baku. Ketika krisis yang dipakai adalah “Management by Crises” (Mengelola Pada Saat Krisis).
Dan ketika mengelola pada saat krisis, ada beberapa persyaratan untuk menunjukkan seseorang bisa disebut seorang pemimpin.
1. Seeing things for what they are (Melihat Sesuatu Apa Adanya). Strong crisis leaders live on the front end of reality. They recognize events and their significance and do not shy away from the consequences of what they see. Intellectual integrity is a key component of their DNA; they think of what is best for the organization, not their own personal gain.
2. Strategy and detail. (Strategi dan Rinci). They are able to see the big picture. They can see all of the moving parts and understand what is cause and what is effect. They get below the 30,000ft level and can dig deep into detail without being mired in it. They quickly develop a very detailed knowledge of the issues. This ability further enhances their capacity to view the problem realistically.
3. Multiple options. (Pilihan Yang banyak). When they have identified the problems, they are willing to consider multiple approaches to how these may be addressed. Initially, they engage others in brainstorming potential solutions without judgment, even though they may have a preferred solution in mind. They are confident enough to know and accept that their way may not be the best way.
4. Decisiveness (Ketegasan Dalam Membuat Keputusan). Taking ownership of the solution means being decisive. When they feel they have listened to the best advice they are willing to make a decision. Strong leaders will use a combination of real-time data along with their “gut”; the wisdom built on years of leadership experience. When they make that decision they know they need to “sell” it to key stakeholders and work tirelessly to ensure organizational resistance does not block the effectiveness of the decision.
5. Collaboration. (Kolaborasi). Strong leaders take ownership of the problem. They understand, however, that a long-term solution requires the input and involvement of many stakeholders. They identify those individuals and work together towards a solution that most support and most can live with.
6. Listen to unpopular advice. (Siap Mendengar Nasehat Yang Tidak Populer). Unsuccessful leaders listen only to those who agree with them and often encourage one-dimensional thinking. The successful crisis leader seeks out individuals who have a different perspective on an issue. They include individuals with whom they may not agree and whose advice may be contrary to that of their closest advisers.
7. Calm, courageous and positive. (Tenang, Berani dan Berfikiran Positif)They feel a sense of urgency and remain even tempered. They recognize that an organization, a country or the world is watching them and know that how they present themselves will provide non verbal signals to the audience. They will deliver bad news when they need to and do it in a way that avoids panic and provides a realistic level of hope for the future. Above all, they are courageous enough to make decisions they believe to be the right ones, regardless of whether they are the more popular ones.
8. Take risk in the face of risk (Siap Menerima Resiko). Crises often bring the leader face-to-face with a set of situations they have not previously seen. There are questions to which they do not know the answers. Gathering contrarian viewpoints from individuals with whom they might not agree, but respect, likely means they may create solutions not previously tried, and outcomes of which may be unknown. If it is the best solution, however, the strong leader is prepared to take the calculated risk.
9. 80% rule (Tidak Semua Informasi Bisa Diperoleh). Leaders certainly want to make the right set of decisions. Strong leaders understand they will not always have all of the information they might like. They know that making an imperfect decision can often be better than making no decision at all. Even if the decision needs to be “fine tuned” for implementation they are comfortable making it.
10. Prepare to admit mistakes (Siap Nenerima Kesalahan) Courageous leaders who take calculated risks will undoubtedly make mistakes at some point. Deep crises require continuous decision making. The volume of decisions required in multi-faceted crises can almost guarantee that not every decision will be 100% correct. Strong leaders are prepared to admit their mistakes.
“Ya Robb, akan jadi apa negeri ini ? Selamatkan kami yang ada di dalamnya dengan limpahan Maghfirah-Mu, limpahan Rahman-Mu dan Rahiem-Mu. Aaamiiin…”
Baa, 23 April 2017
Tim – GoPesisir.com