JAKARTA – Ocehan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, yang menyatakan kenaikan Harga Komoditas Sawit mempengaruhi realisasi penerimaan pajak yang tumbuh signifikan pada 23 September 2021, ternyata tidak berpihak kepada petani rakyat.
Demikian kata Nabhan Aiqani, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute dan melanjutkan, padahal Menkeu menyebutkan bahwa bea keluar per-Agustus 2021, tumbuh 1.056,72 Persen didorong oleh peningkatan ekspor komoditi Sawit akibat tingginya harga produk Kelapa Sawit.
“Kabar baik yang seharusnya patut disyukuri petani sawit kecil justru di kelilingi oleh fakta yang tidak memihak kelompok masyarakat kecil,” kata Nabhan, seperti dilansir bukamata.co, Jum’at, (22/10), dalam pers rilisnya, di Jakarta.
“Dalam rapat persetujuan anggaran dengan DPR-RI, anggaran besar yang diguyur Sri Mulyani untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dipertanyakan,” ungkap Nabhan.
Dibeberkan Nabhan, bahwa dari total anggaran Rp 9,3 Triliun untuk Badan Layanan Umum (BLU), BPDPKS dapat paling besar yaitu Rp 5,8 Triliun. Ironisnya, diketahui dalam rentang 2015 hingga 2021, anggaran Triliunan Rupiah dari BPDPKS lebih banyak ditujukan untuk program Biofuel.
Lanjutnya lagi, dengan sasaran perusahaan-perusahaan sawit besar, layaknya Wilmar Group, Musim Mas Group mencapai Rp 2,78 Triliun (Data tahun 2020).
Sementara kata dia lagi, kegiatan Program Sawit Rakyat (PSR) belum menjadi prioritas penganggaran. Dalam hal ini, kentara sekali pada ketidak berpihakan penganggaran terhadap kelompok masyarakat petani sawit.
“Di sisi lain, kegembiraan yang meliputi kenaikan harga Komoditi Sawit yang mampu menyelamatkan Negara (Kas Negara) ditengah pandemi, tercoreng dengan fakta yang baru-baru ini terungkap,” katanya.**
Laporan by: Red/Tim