Edisi Membuka Mata dan Telinga !!!

Editorial GoPesisir.com : Asmara Hadi Usman (BAG I)

APBD Pro Rakyat – Bagaimana Dengan Kabupaten Rokan Hilir?

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dokumen hasil kesepakatan antara Eksekutif (Pemda) dan Legislatif (DPRD), sebagai Pedoman Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah dalam satu tahun. Publik berhak tahu, pajak dan retribusi yang dibayarkan selama ini berapa kumulatifnya.

Sebagai bentuk check and balances serta memastikan bahwa dokumen APBD yang disusun dan disahkan benar-benar bisa mengakomodir kebutuhan ril masyarakat, dan dokumen tersebut berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat secara luas.

Sebagai dokumen milik daerah, struktur APBD memuat : Pendapatan, Belanja, Pembiayaan Daerah.

Pendapatan Daerah meliputi :
●Pendapatan Asli Daerah,
●Dana Perimbangan,
●lain-lain pendapatan yang sah, termasuk Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil-hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah masuk kategori pendapatan asli daerah.

Sementara Kelompok Pendapatan dari Dana Perimbangan meliputi :
●Dana Bagi Hasil (DBH)
●Dana Alokasi Umum (DAU)
●Dana Alokasi Khusus (DAK)

Sebelum masuk pada substansi APBD yang dituangkan dalam penjabaran Kepala Daerah, pemerintah daerah menyusun rancangan APBD yang memuat Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

Disinilah pemerintah daerah menggunakan asumsi-asumsi makro, perubahan fiskal, maupun acuan lain sebagai pedoman (maaf untuk Rokan Hilir kita tidak mengetahui acuan mana yang digunakan dari sistem berikut) :

Baca juga : Editorial Khusus : “GOLKAR KABUPATEN – KEPEMIMPINAN TANPA PERSPEKTIF”

Traditional Budgeting System (TBS) – menyusun anggaran yang tidak didasarkan atas pemikiran dan analisa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kriteria penyusunan sistem ini adalah:

– Penyusunan lebih didasarkan pada kebutuhan belanja/pengeluaran.
– Perhatian lebih banyak ditekankan pada petanggungjawaban pelaksanaan anggaran dan penyusunan pembukuannya dan pengawasan.
– Pengelompokan pos-pos anggaran didasarkan atas obyek-obyek pengeluaran, sedangkan distribusi anggaran didasarkan atas jatah tiap-tiap SKPD/BADAN.
– Sistem pertanggungjawabannya hanya menggunakan kwitansi pengeluaran saja, tanpa diperiksa dan diteliti apakah dana telah digunakan secara efektif/efesien atau tidak.
– Sistem anggaran ini menekankan pada pertanggungjawaban keuangan dari sudut akuntasinya saja tanpa diuji efisien tidaknya penggunaan dana tersebut.
– Anggaran diartikan semata-mata sebagai alat dan sebagai dasar legtimasi (pengabsahan) berapa besarnya pengeluaran pemerintah dan berapa besarnya penerimaan yang dibutuhkan untuk menutup pengeluaran tersebut.

Mekanisme pelaksanaannya adalah pemerintah memberi jatah dana untuk tiap-tiap SKPD, SKPD melaporkan penggunaan dana tersebut sampai habis. Tolak ukur keberhasilan anggaran adalah hasil kerja, yakni jika anggaran seimbang (balance) maka anggaran tersebut dapat dikatakan berhasil, tetapi jika anggaran tersebut defisit atau surplus, berarti anggaran tersebut gagal.

Performance Budgeting System (PBS) – berorientasi pada pendayagunaan dana yang tersedia untuk mencapai hasil yang optimal dari kegiatan yang dilaksanakan. Karakteristik penyusunan anggaran adalah :

◎Penyusunan anggaran didasarkan atas kebutuhan apa saja yang dibelanjakan dan didasarkan juga pada tujuan-tujuan atau rencana-rencana tertentu.
◎Pelaksanaannya didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan dana/biaya yang dipakai harus dijalankan secara efektif dan efesien.
◎Sistem ini bukan semata-mata berorientasi kepada berapa jumlah yang dikeluarkan, tetapi sudah dipikirkan terlebih dahulu mengenai rencana kegiatan, apa yang akan dicapai, proyek apa yang akan dikerjakan, dan bagaimana pengalokasian biaya agar digunakan secara efektif dan efesien.
◎Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan (management control), sehingga dalam sistem ini efisiensi penggunaan dana hasil kerjanya diperiksa.
◎Pengelompokkan pos-pos anggaran didasarkan atas kegiatan dan telah ditetapkan suatu tolak ukur berupa standar biaya dan hasil kerjanya.
◎Salah satu syarat utama untuk penerapan sistem ini adalah digunakannya sistem akuntansi biaya sebagai alat untuk mengukur tingkat efisiensi pengeluaran dana.Mekanisme kerjanya berdasarkan pada pelaksanaan penyusunan anggaran berbasis kinerja.

Dalam buku Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja,diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (2005) menegaskan penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut.

Keluaran dan hasil tesebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja.

Planning, Programming, Budgeting System (PPBS) – menekankan pada penyusunan rencana dan program. Rencana disusun sesuai dengan RPJP yaitu untuk kesejahteraan rakyat, karena pemerintah bertanggungjawab dalam produksi dan distribusi barang maupun jasa dan alokasi sumber-sumber ekonomi yang lain.

Kriteria penyusunan sistem ini adalah:

◎Pengukuran manfaat penggunaan dana dilihat dari susut pengaruhnya terhadap lingkungan secara keseluruhan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
◎Pengelompokkan pos-pos anggaran didasarkan atas tujuan-tujuan yang hendak dicapai di masa yang akan datang.

Mekanisme proses penyusunan PPBS melalui beberapa tahap sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan yang hendak dicapai
2. Mengkaji pengalaman-pengalaman di masa lalu
3. Melihat prospek perkembangan yang akan datang
4. Menyusun rencana yang bersifat umum mengenai apa yang akan dilaksanakan.

Setelah keempat (4) tahap selesai disusun, tahap selanjutnya terdiri dari:
– Menyusun program pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan
– Berdasarkan program pelaksanaan ditentukan berapa jumlah dana yang diperlukan untuk melaksanakan program-program tersebut.

Hal mendasar yang ingin diketahui publik terhadap APBD adalah apakah pemerintah daerah pro publik atau pro aparatur atau pro lainnya ? Dengan kata lain, apakah APBD yang disusun mencerminkan kepentingan rakyat atau mencerminkan kepentingan kelompok tertentu, baik di Eksekutif maupun di Legislatif ?

DUA PARADIGMA PEMIKIRAN

Perdebatan mengenai alokasi APBD yang tidak pro rakyat dan pro rakyat sepertinya tidak akan pernah usai. Sejumlah cendekiawan dan analis termasuk tokoh masyarakat berkeinginan agar, alokasi dana APBD berpihak kepada masyarakat kecil bukan sekedar mimpi. Tetapi sulitnya merancang APBD pro rakyat merupakan bagian dari kesulitan menerapkan konsep ideal otonomi daerah yang tidak pernah secara sungguh-sungguh dibuat solusinya oleh eksekutif dan legislatif di daerah.

Persoalannya sungguh amat sederhana – menyangkut perbedaan pandangan antara masyarakat dan birokrasi, khususnya, dalam menyikapi besarnya komposisi antara Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.

Cendikiawan, analis dan tokoh masyarakat menilai, anggaran yang digunakan untuk kepentingan rakyat adalah berupa Belanja Langsung, sedangkan Belanja Tidak Langsung dianggap tidak untuk mereka. Di pihak lain, menurut perhitungan para penyusun anggaran (birokrat), banyak komponen anggaran yang dialokasikan untuk masyarakat secara langsung masuk dalam Belanja Tidak Langsung. Bentuknya berupa Belanja Hibah, Bantuan Sosial (Bansos), dan Bantuan Keuangan Kota hingga Desa.

Mengutip pendapat sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Hotman Siahaan, APBD merupakan bentuk Manajemen Keuangan Daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal, sekaligus juga alat Evaluasi Prestasi Pemerintah dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya.

Karena itu, setiap belanja pemerintah harus ditujukan untuk kepentingan publik dan pemakaiannya harus dipertanggungjawabkan secara bertanggung jawab dan bermartabat. Dengan kata lain, APBD harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.

APBD PRO RAKYAT

Bicara APBD pro rakyat tentunya bicara mengenai berbagai aspek dasar kebutuhan rakyat di daerah, khususnya rakyat Kabupaten Rokan Hilir,  diantaranya : Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Tenaga Kerja, Pemberdayaan Perempuan, Kehidupan Umat Beragama, Lingkungan Hidup, Informasi, Hukum, Penanganan Bencana, dan sebagainya.

Dilihat dari fungsinya, APBD memiliki beberapa fungsi berikut : Alokasi, Distribusi, dan Stabilitas.

●Fungsi alokasi dimaksudkan agar APBD digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah sehingga pelayanan publik makin baik.
●Pemerataan pendapatan dan pengentasan masyarakat miskin merupakan perwujudan fungsi distribusi.
●Sementara itu, fungsi stabilitas ditujukan untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi kegiatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, stabilitas harga, dan pertumbuhan ekonomi.

Itu sebabnya mengapa keberpihakan terhadap rakyat harus dijadikan pilihan utama. APBD harus ditujukan sebesar-besarnya untuk belanja pelayanan dasar, khususnya pelayanan pendidikan, kesehatan, sarana air bersih, dan perluasan lapangan kerja. Semua itu berorientasi pada rakyat miskin sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dengan tujuan akhir kesejahteraan seluruh rakyat ditingkat Kabupaten.

Harus diakui, selama ini kecenderungan yang terjadi, skala prioritas penggunaan APBD adalah untuk membiayai belanja rutin birokrasi, baru untuk membiayai pembangunan.

Padahal pemerintahan yang demokratis bisa terlihat dari administrasi yang efisien dan efektif.

Secara politis, dia demokratis, di mana keterlibatan, akses dan kontrol publik diberikan ruang yang sangat luas. Secara ekonomi, dia mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara sosial, dia mampu menciptakan rasa aman bagi rakyatnya, dan secara yuridis dijalankan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.

Pemerintah daerah tidak mungkin membiarkan masyarakat secara terus menerus berada dalam kebodohan yang pada ujungnya melahirkan sikap apatis yang akut. Pemerintah daerah tidak mungkin mampu menutup kran-kran yang ada sehingga saluran air yang diharapkan oleh tokoh dan masyarakat tidak menetes sama sekali dalam bentuk informasi yang transparan dan akuntabel.

Jika itu dilakukan, yakinlah suatu saat kran-kran itu akan jebol dan airnya berserak kesana kemari tanpa seorangpun mampu membendungnya. Inilah yang disebut dalam kajian ilmu sosia sebagai goncangan sosial atau rusuh sosial.

Masyarakat harus dibuat cerdas dan berdaya karena inilah tujuan akhir Kabupaten ini dibentuk – agar masyarakat lebih peduli kepada proses pembangunan dilingkungan mereka secara khusus dan dilingkungan Kabupaten secara umum.

Masyarakat harus diupayakan untuk makin terlibat dalam seluruh proses dan tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan agar mereka tahu bagaimana pembangunan direncanakan, bagaimana pembangunan dilaksanakan, bagaimana proses pengawasannya, dan pada akhirnya memanfaatkan dan menjaganya secara betsama-sama. Mereka akan tahu bagaimana pengelolaan dana APBD, dan untuk apa dan untuk siapa dana-dana itu diperuntukkan.

Mewujudkan APBD pro rakyat diperlukan dukungan semua pihak : Pemerintah, DPRD, Partai Politik, tokoh dan masyarakat luas. Kalangan parpol harus berfikir cerdas untuk bisa menghasilkan APBD yang benar-benar mencerminkan aspirasi konstituen, bukan aspirasi orang-perorangan dalam bentuk dana aspirasi atau lainnya yang dalam pelaksanaannya berputar dilingkaran yang sangat terbatas dan hampir tak berdampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di banyak daerah postur APBD 2011. Ternyata lebih banyak dihabiskan untuk belanja birokrat.  Dari APBD sebanyak 124 daerah diketahui menggunakan lebih dari 60 persen  untuk belanja pegawai. Bahkan sebanyak 16 daerah ternyata menganggarkan belanja pegawai mencapai 70 persen lebih dari APBD. Bahkan beberapa daerah hampir bangkrut karena anggarannya ludes untuk kepentingan birokrat.

Dengan postur APBD seperti hal tersebut, jelas bagian yang diperoleh rakyat dari pajak yang dibayarkannya hanya sedikit. Dengan tersedotnya anggaran yang lebih besar bagi birokrat. Sudah pasti APBD yang ada bukan lagi pro poor dan pro jobs.  Mungkin sampai kiamatpun tidak akan terwujudkan APBD yang bisa memberikan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat di daerah. Kalau kemakmuran dan keadilan bagi birokrat sudah pasti dan kemiskinan yang beranak pinak bagi rakyat sudah jelas.

(Bersambung ke-II)