Kepolisian Angkat Bicara Soal Kenaikan ‘Gila-gilaan’ Tarif Parkir di Pekanbaru

PEKANBARU – Niat untuk mendongkrak PAD dengan rumusan Peraturan Daerah (Perda) baru tentang tarif parkir dibeberapa ruas jalan di Kota Pekanbaru, Riau menuai pro-kontra. Sesuai putusan, ada empat ketentuan tarif zona parkir hasil verifikasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

Antara lain, tarif retribusi parkir di zona I, sepeda motor Rp4.000 dan mobil Rp8.000. Tarif retribusi parkir di zona II, sepeda motor Rp3.000 dan mobil Rp5.000. Retribusi parkir di zona III, sepeda motor Rp1.000, mobil Rp2.000 dan kendaraan roda enam atau lebih Rp10.000.

Sedangkan tarif retribusi pelayanan parkir di jalan lokal dan jalan lingkungan antara lain, sepeda motor Rp1.000 dan mobil dikenai biaya parkir Rp2.000. Jika disimpulkan, tarif parkir tersebut berbeda di masing-masing zona, tergantung area jalan tempat si pemilik kendaraan parkir.

“Kita tidak menolak kewenangan pemerintah daerah terkait Perda parkir ini, tapi kita ingin akomodir win-win solution (jalan keluar, red) terkait masalah yang bakal timbul dengan ditetapkannya kawasan parkir sesuai zona ini,” singgung Kasatlantas Polresta Pekanbaru, Kompol Zulanda.

Agar tidak berbuntut kepada kemacetan dan penumpukan kendaraan, pihaknya punya rancangan dan ide terkait pembagian zona tersebut, yang bisa dikatakan lebih tepat fungsinya, sehingga dapat mendukung terurainya kemacetan yang kerap terjadi di sejumlah ruas jalan di Pekanbaru, Riau.

“Pertanyaannya, parkir yang bagaimana yang bisa mengubah semua ini tanpa menganggu ketetapan Perda pemerintah. Solusinya adalah dengan parkir pintar dan parkir terampil, pemilihan blocking area yang tepat serta penetapan tarif harga parkir sesuai titik keramaian,” ulasnya.

Zulanda yang ditemui GoRiau.com di ruangannya akhir pekan lalu menguraikan satu persatu. Menurutnya tak masalah bagi masyarakat merogoh kocek sedikit lebih besar untuk biaya parkir, asalkan pelayanannya prima dan maksimal. Bahkan seyogyanya juga harus aman dari tindak kejahatan.

“Itu yang harus jadi dasarnya. Pelayanan prima dan keamanan terjamin. Kalau perlu juru parkirnya bersertifikasi dan punya kemampuan. Solusi lain bisa dengan menerapkan voucher parkir, sehingga biaya masuk parkir jelas dan tidak terjadi lagi kebocoran PAD, khususnya dalam hal biaya parkir,” terang dia.

“Di luar itu, kita (Satlantas) menyarankan metode zona parkir agar bisa mengurai kemecetan, ini terkait menyikapi dari disetujuinya aturan parkir baru tersebut. Kita ingin memberikan solusi sehingga kebijakan pemerintah itu bisa efektif. Hal ini akan kita rekomendasikan nanti,” ujar Zulanda.

Jika tarif parkir ditentukan berdasarkan zona dan jenis jalan, maka praktis membuat pemilik kendaraan bisa leluasa parkir dimanapun di zona yang sama, karena biayanya juga sama. Imbasnya, terjadi penumpukan kendaraan disatu titik. Contohnya, disepanjang Jalan Jenderal Sudirman, apakah harus sama tarif parkirnya antara di depan mal dengan toko kelontong yang posisinya di zona serupa.

“Karena harganya berada di zona yang sama, tentu pemilik kendaraan akan parkir di lokasi terdekat dengan pusat keramaian ini, imbasnya terjadi penumpukan. Sementara di titik lain (di zona serupa) justru sepi. Logikanya, ngapain parkir jauh-jauh kalau biayanya sama saja. Artinya tujuan untuk mengurai kemacetan tidak akan tercapai,” ungkapnya.

Mestinya, harus ada kajian lain bahwa titik keramaian pantas dijadikan pertimbangan untuk ketetapan kenaikan tarif parkir tersebut, khususnya yang berada di persimpangan dan U-turn jalan, bukan hanya berdasarkan zona saja. “Semakin ramai titik tersebut, harusnya bisa jadi pertimbangan dan rekomendasi biaya parkir di sana lebih mahal,” jawabnya.

“Sehingga ada opsi bagi pemilik kendaraan dan muncul pertanyaan dari mereka, bahwa malas parkir di sana karena mahal, alternatifnya parkir agak jauh dan yang sedikit sepi serta tarifnya lebih murah. Imbasnya tidak ada penumpukan di satu titik saja. Jika begitu, maka tujuan mengurai kemacetan bisa jalan,” bebernya.

Rumusan lainnya, yakni dengan sistem area blocking yang tidak terlalu jauh, sehingga masyarakat terpanggil untuk memarkirkan kendaraannya merata dan tidak menumpuk di satu tempat saja. “Kalau bisa jaraknya (area blocking) 20 sampai 30 meter saja. Jadi tarif parkirnya disetiap jarak tersebut berbeda-beda,” jelasnya.

“Kita ambil contoh di kawasan perbelanjaan Jalan Sudirman. Dalam jarak 60 meter, bagi saja menjadi tiga area blocking yang masing-masing berbeda tarifnya. Bagi yang paling ramai otomatis paling mahal (biaya parkir), jarak 20 meter ke samping biayanya lebih murah dan begitu seterusnya,” contoh Zulanda.

“Dengan begini, pemilik kendaraan tentu mikir dua kali. Mereka juga punya pilihan. Mending pilih yang agak jauh (jaraknya 20 meter) karena biayanya lebih murah, nggak masalah kalau mesti jalan sedikit. Ini juga menguntungkan pedagang, sehingga terjadi pemerataan kemacetan bisa terurai,” singkatnya.

“Ide dan win-win solution ini akan kita paparkan saat pembahasan bersama dengan pemerintah dan instansi lainnya nanti,” pungkas Kompol Zulanda kepada GoRiau.com. ***

goriau.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *