Legenda Yang Berakhir Mengenaskan
By: El Wahyudi Panggabean
Bagan Siapiapi, 1971: “Kota Penghasil Ikan terbesar di Indonesia”. Itulah yang tertulis di bagian bawah sebuah poster hitam-putih.
Poster berukuran 75 cm x 100 cm itu, tergantung di dinding, ruangan kelasku. Nun jauh di sana: SD Negeri 1, Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tetapi, baru seperlima Abad berikutnya, tepatnya tahun 1991, aku berhasil menjenguk kota ini.
Aku, satu dari segelintir wartawan, dalam rombongan Gubernur Riau, Soeripto, kala uji coba perdana lintas darat: Pekanbaru-Bagan Siapiapi.
Sayang, menjalani prosesi “Liputan Ceremony”, wartawan memiliki ruang kreasi terbatas. Akibatnya, angel laporanku, terkesan birokratif. Aku bukan tipe Jurnalis instansi.
Syukur, perjuanganku nan getir “menembus” manajemen media profesional 1994, tampaknya, berhasil.
Nasib baik, menempatkanku menjadi bagian Majalah Raksasa FORUM Keadilan, Jakarta, besutan Sukarni Ilyas alias Karni Ilyas.
Media ini punya ruang gerak yang cukup. Sepanjang usulan berita si Wartawan di-Acc oleh Rapat Proyesi, kendala hanya pada si Wartawan.
Semua biaya operasional, sebesar apapun, ditanggung Redaksi. Termasuk, honor buat sumber pendukung informasi. Klaim itu, tentu di luar honor dan uang jalan.
Kurasa “honor besar”, masih merupakan motivasi terbesar bagi sebagian besar wartawan di muka bumi ini. Aku juga!
Seingatku, medio Mei1996 usai Rapat SWOT di Redaksi Jakarta, aku segera terbang ke Riau untuk menulis seputar Kota Bagan Siapiapi.
Untuk investigasi, aku berkedok sebagai wisatawan. Isteri dan kedua bocahku kala itu, juga ikut serta. Saat aku melakukan investigasi, mereka di hotel saja. Hotel Bagan, hotel terbesar kala itu.
Angel liputan: Kota Penghasil Ikan Terbesar di Dunia setelah Norweigia, Berubah Jadi Kota Judi. Sebuah Legenda yang Berakhir Mengenaskan.
Wahid Rahmanto, Redaktur Rubrik “Selingan” memberi ruang tulisanku 5 halaman berikut poto-poto pendukung.
Angel (Sudut pandang paling menarik dari masalah), kala dimuat di Rubrik Selingan Majalah FORUM, cukup menyita perhatian pembaca.
Potret kemiskinan, selalu menjadi topik perhatian pembaca. Bagan Siapiapi: Potret Judi & Kemiskinan di Kota Tua.
Bayangkam, potensi spektakuler itu praktis tidak dinikmati warga tempatan. Sebagian besar ikan telah dilelang nelayan di tengah laut kepada para spekulan yang datang dari negara luar
Tempat Pelengan Ikan di bibir pantai, sepi selalu. Pasar ikan di Kota Bagan hanya menjual ikan kualitas rendah. Bagi warga tempatan, popularitas & reputasi Bagan Siapiapi, yang pernah mengungguli nama Indonesia di Manca Negara, hanyalah sebuah nama.
************************
Tiga bulan berikutnya, aku berangkat sendiri ke Bagan. Dengan Bus Travel, perjalanan 254 km ke kota di timur Pekanbaru itu ditempuh sekitar 7 jam
Kali ini, tidak lagi tentang judi dan kemiskinan. Justru mereportase terancamnya puluhan industri Galangan Kapal Kayu di Bagan.
Ancaman ini mengemuka atas kekhawatiran kesulitan bahan baku, menyusul larangan penebangan kayu kulim (Scorodocarpus borneensis) oleh Menteri Pertanian.
Kayu kulim, bahan baku utama 35 industri itu. Masing-masing industri menyerap sekitar 50 orang tenaga kerja.
Bekerja di galangan kapal, tampaknya menjadi alternatif bagi ribuan buruh. Mereka termarginalkan akibat persaingan yang kian ketat, di tengah lautan.
Tetapi, 2 Mei 2019 silam, berbeda. Aku kembali ke Kota Legenda ini, justru meneruskan penyebaran misi-ku: Pelatihan Jurnalistik.
Aku bersama isteriku (Adv Asmanidar) diundang untuk mengisi sebuah pelatihan bertajuk:
“Strategi Praktis, Menulis Berita dengan Menarik & Santun. Pelatihan ini sebagai kegiatan pendukung:
“Pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kabupaten Rokan Hilir, Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI)” oleh Pimpinan DPD GWI Riau.
Ketua DPD GWI Riau, Amponiman Bate’e & Sekjen DPD GWI Riau, Thamrin Ismail, turun langsung melantik dan memimpin prosesi pelantikan.
Pengurus DPC GWI Rokan Hilir yang dilantik di antaranya: Kok Wi alias Jokowi (Dewan Pembina), Bertuah Manullang (Ketua DPC), Rahmat Sutiono (Sekretaris DPC) dan Sihombing (Bendahara DPC). Acara berlangsung dii Hotel Rasa Sayang.
Hotel Rasa Sayang satu dari dua hotel papan atas di Bagan Siapi-api. Pelatihan jurnalistik digelar usai prosesi pelantikan.
Namun, hal-ihwal, Kota Tua inilah, yang selalu menyita perhatianku. Aku juga sudah lama tidak menyambangi “Kota Terasi” ini.
Terlebih setelah Bagan Siapiapi, dijadikan Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir sejak 19 tahun silam. Tertarik melihat geliat pembangunannya.
Usai acara pokok, aku melakukan wisata jurnalistik. Mulai dari jantung kota, Jembatan Pedamaran, Area Industri Galangan Kapal, Komplek Perkantoran hinga ke Pelabuhan Baru.
Daerah ini, semakin populer kala dipimpin Bupati Anas Ma’mun dengan gayanya yang khas 10 tahun silam. Gedung-gedung pemerintahan pun mulai mencakar langit.
Anas tampaknya berjuang ambisius mematri kesan mewah di atas bingkai kemislknan Bagan Siapiapi.
Kala itu, Anas mulai memoles sarana fisik pemerintahannya serba “wah” di Komplek Batu Enam, Bagan Siapiapi. Fantastis!
Sayang, Anas lebih ambisius lagi dengan kekuasaan, ketimbang mencintai tanah leluhurnya itu. Tahun 2014, Anas dilantik sebagai Gubernur Riau.
Ironis, 8 bulan kemudian, Anas terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Penangkapan atas tuduhan menerima suap untuk izin Perkebunan Kelapa Sawit.
Kini, sepeninggal Anas, Bagan Siapiapi, praktis bagai kota tak terurus. Jalan raya sebagai sarana transportasi, rusak, terbiarkan.
Gedung-gedung perkantoran pemerintah yang dulu megah, sebagian tampak tidak terawat. Memprihantinkan.
Jembatan Pedamaran 1 dan Jembatan Pedamaran 2 yang panjangnya masing-masing, lebih 1 km itu, diresmikan 3 tahun silam.
Walau kemegahan kedua jembatan ini masih tersisa. Kini, seolah turut memancarkan kesedihan.
Setidaknya, 5 Pejabat Daerah sudah dipenjara atas tuduhan mengorup dana pembangunan jembatan kembar penghubung Kecamatan Bangko dengan Kecamatan Pekaitan ini.
Sempat jadi ikon wisata yang menggiur. Meski hanya sekejap. Kini, Pedamaran bagai sosok janda kematian suami. Makan hati berulam jantung…
Dulu lampu-lampunya gemerlapan di atas liku Sungai Rokan, kala malam tiba. Kini, bagai bentangan terowongan angker. Kelam menakutkan.
“Semua bola lampu penerang dan kabelnya pada lenyap. Banyak warga yang mempretelinya,” kata Syawal (40) pria penjual air tebu di atas jembatan itu.
Inilah potret kelam Bagan Siapiapi, hari ini. Sekelam kisah Anas Ma’mun, yang masih menghuni kamar “Hotel Prodeo” Lembaga Pemasyarakan (Lapas) Suka Miskin.
Anas, memang tidak ingin Kota Kelahirannya, Bagan Siapiapi, tetap miskin. Toh, dia sendirilah yang akhirnya meringkuk di Penjara Suka Miskin.
Kasihan!!