PEKANBARU – Senada dengan usulan KPU dan Bawaslu, kepada Presiden dan DPR agar adanya revisi terhadap Undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), banyak menuai dukungan.
Salah satunya, Direktur Pusat Riset Pemilu dan Demokrasi (Selaras), Herman Susilo, sangat mendukung sepenuhnya langkah tersebut agar menyempurnakan kualitas penyelenggaraan pada pilkada serentak 2020 yang akan datang.
Ada beberapa point krusial yang harusnya menjadi perhatian dalam semangat revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (atau yang lebih dikenal dengan UU Pilkada) ini, Pasal 7 mengenai persyaratan calon yang perlu di tambahkan “Tidak pernah sebagai terpidana kasus Korupsi”.
Lanjutnya, hal ini perlu di dukung penuh oleh semua pihak agar kualitas penyelenggaraan Pilkada lebih baik dan juga akan menyehatkan demokrasi kita secara luas. Dengan memberikan batasan kepada eks koruptor untuk maju dalam pilkada.
“Secara tidak langsung akan menguatkan sistem demokrasi kita dan memberikan efek kausalitas terhadap terwujudnya Good Governance dan Clean Government,” ujar peneliti yang lama di Polmark Research ini dalam rilisnya kepada media.
Tetapi, sambung Herman, sapaan akrabnya, niat itu harus disambut baik oleh Pemerintah dan DPR selaku pengambil dan pemangku kebijakan, karena keinginan masyarakat ini tidak dapat sekedar di tetapkan dalam PKPU (Peraturan KPU RI) saja.
Juga harus diatur dalam Undang-Undang. Jika hanya bertumpu kepada PKPU, bisa jadi nanti akan kembali ada pihak yang menggugat dan di batalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena itu ada yurisprudensinya.
“Kita apresiasi atas respon baik oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo, yang setuju mantan koruptor di larang maju pada Pilkada, memberikan semangat kepada kita agar pemerintah dapat berkomunikasi bersama DPR dalam merevisi Undang-undang tersebut,” kata Herman.
Dinilai Herman, hal ini bukan tanpa hambatan, karena PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan Penyelenggaraan Pilkada 2020 telah di sahkan, yang menuntut KPU dan Bawaslu agar segera memulai jadwal penyelenggaraan.
Sementara DPR perlu mempelajari terlebih dahulu naskah akademik revisi UU nomor 10 Tahun 2016 yang telah di ajukan oleh KPU tersebut, di tambah dengan ke-efektifan kerja DPR menjelang akhir masa jabatan dan tambahan waktu sebelum terbentuknya alat kelengkapan kerja DPR yang baru.
“Ini baru berkaitan dengan teknis pengundangan, belum lagi hal non-teknis lain yang menuntut pemerintah dan DPR harus bergerak cepat,” tandas konsultan yang telah banyak berkecimpung di dunia survei dan pemetaan politik ini.
Disamping larangan mantan Koruptor maju di Pilkada, penambahan sistem rekapitulasi elektronik (E-Recap), yang tengah di susun oleh KPU juga perlu di masukkan pada revisi undang-undang tersebut, agar juga memperkuat langkah teknis KPU dalam melakukan proses rekapitulasi hasil Pemilihan pada Pilkada serentak 2020 kedepan.
“Selaras, selaku lembaga di Riau yang concern pada pemilu dan demokrasi, merasa perlu perihal ini di kuatkan sebagai bentuk kontribusi kita sebagai elemen bangsa yang ingin melihat demokrasi Indonesia tumbuh menjadi demokrasi yang lebih baik lagi,” harapnya.**(red)