BANGKO – Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan anak kini tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan isu social lainnya. Itu juga fenomena global, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga menjadi agenda komunitas internasional dan resmi diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Dalam penyampaiannya koordinator program PPSW, Juliana S.pi mengatakan. Komnas Perempuan mencatat selama 12 Tahun terhitung dari 2001- 2012, sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari.
Disambungnya, pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920 kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan (1620). Usia korban ditemukan semakin muda yakni antara usia 13–18 tahun.
Kekerasan Seksual diakuinya, menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya, karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual.
“Ini yang membuat perempuan korban seringkali bungkam,” ujar Juliana, kepada awak media ini, Minggu (14/2/16).
Sedangkan jenis kekerasan sambungnya, ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013) belakangan ini, yakni.
1. Perkosaan;
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
3. Pelecehan Seksual;
4. Eksploitasi Seksual;
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
6. Prostitusi Paksa;
7. Perbudakan Seksual;
8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung;
9. Pemaksaan Kehamilan;
10. Pemaksaan Aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan Seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Ke 15 bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya.
Tahun ini jelasnya kembali, kita harus mengambil langkah yang lebih jauh dengan menciptakan ‘Revolusi’. Kita telah menari, kita telah menuntut keadilan, sekarang kita akan menuntut ‘Perubahan’ dan ‘Perubahan’ hanya akan dapat tercapai melalui aksi yang lebih berani, tegas, kreatif serta perubahan yang radikal dari cara pandang masyarakat.
“Menari adalah sebuah bentuk perlawanan, menari itu penuh dengan unsur kegembiraan, menular serta bebas dilakukan oleh siapapun dan dimana pun. Lakukan perubahan lawan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tandas Juliana.(mad)