BERFIKIR STRATEGIS !!!
GoPesisir.com – Pemekaran katanya : Untuk memperpendek jarak, memudahkan urusan pemerintahan dan meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
● Seberapa besar mudahnya dan seberapa besar mampunya meningkatkan Kesejahteraan Rakyat ?
● Kajian-kajian Tentang DOB menegaskan “80 % DOB tidak mampu menata Pemerintahan dengan baik dan meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
● Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah yang menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu.
● Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat.
● Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah.
● Studi yang dilakukan oleh Bappenas yang bekerjasama dengan UNDP pada tahun 2008, menyatakan : Daerah otonom baru tidak lebih baik kondisinya paska-pemekaran, dibandingkan dengan daerah induk.
● Kementerian Dalam Negeri juga berpendapat bahwa penambahan DOB tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
● Bahkan sekitar 80% DOB mengalami kegagalan – yang ditunjukkan dengan stagnasi pertumbuhan kesejahteraan dan sebagian lainnya mengalami kecenderungan penurunan kesejahteraan. Penambahan DOB dinilai semakin menambah beban keuangan negara, dikarenakan alokasi sebagian besar APBD untuk Belanja Rutin – terutama untuk Belanja Pegawai.
Baca Juga : BERHELAT/KENDURI/PESTA DAN E-LELANG KITA”
Akar Masalah Pemekaran Wilayah
● Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah cenderung berdampak negatif ketimbang positif, yang ditunjukkan dengan pesatnya perkembangan DOB yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di atas disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa dampak negatif tersebut adalah :
a) pemekaran menciptakan struktur pemerintah daerah yang tambun namun miskin fungsi, yang mengakibatkan membebani APBD dan APBN;
b) aspek politik di tingkat lokal terlalu dominan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat, di mana sekelompok elit lokal menyandera;
c) rendahnya kapasitas fiskal yang menyebabkan pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan dengan berbagai cara yang justru merugikan masyarakat, munculnya kesenjangan antar daerah dan perekonomian daerah berbiaya tinggi akibat regulasi daerah yang mengejar secara sporadis peningkatan PAD;
d) pertambahan jumlah pemerintah daerah secara simultan meningkatkan belanja dalam APBN dan ini membebani pemerintah pusat, dimana proprosionalitas anggaran pembangunan semakin kecil terhadap anggaran rutin.
● Setidaknya ada empat faktor utama yang menyebabkan pemekaran wilayah di Indonesia yang dinilai penting untuk dilakukan evaluasi.
◎ Faktor pertama adalah regulasi yang normatif. Baik PP No. 129 tahun 2000 maupun PP No. 78 tahun 2007 memuat persyaratan pemekaran wilayah yang bersifat kuantitatif semata dan tidak memperhatikan kondisi kualitatif daerah calon pemekaran maupun daerah induk. Hal ini yang mendorong kecenderungan dilakukannya manipulasi penilaian yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan sekelompok elit daerah. Selain itu, dalam regulasi juga tidak secara jelas menunjukkan koridor ketegasan pemenuhan persyaratan bagi daerah yang hendak melepaskan diri dari daerah induk, mana indikator yang mutlak harus dipenuhi tidak dinyatakan secara jelas.
◎ Faktor kedua, pertimbangan politis jangka pendek lebih mendominasi dalam pertimbangan menyusun usulan pemekaran wilayah dibandingkan kajian yang dapat dipertanggung jawabkan yang mempertimbang kan secara matang implikasi pemekaran wilayah. Banyak daerah dengan memanfaatkan jasa konsultan yang bersedia melakukan kajian sesuai dengan pesanan sekelompok elit agar usulan daerah pemekaran dapat memenuhi persyaratan administratif semata dan dilanjutkan dengan aksi lobi-lobi ke pemerintah pusat.
◎ Faktor ketiga adalah keterbatasan kemampuan pemerintah pusat melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap DOB – terutama pada masa awal transisi, sehingga seolah yang terjadi adalah pemerintah daerah otonom baru melenceng dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. hal tersebut ditunjukkan dengan penggunaan APBD yang memarginalkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerahnya.
◎ Faktor keempat adalah keterbatasan sumberdaya pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan yang otonom, yang ditunjukkan masih rendahnya kualitas SDM aparatur pemerintah, keterbatasan anggaran serta tidak tersedianya sarana dan prasarana yang layak untuk menyelanggarakan pemerintahan di daerah.
● Kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia tersebut ibarat “pisau bermata dua”, di satu sisi diharapkan dapat mengatasi permasalahan jauhnya rentang efektivitas pelayanan publik, pemerataan pembangunan daerah, desentralisasi demokrasi, pengakuan terhadap aspek sosio kultural masyarakat dan kepentingan pertahanan dan keamanan negara, disisi lain juga berpotensi terjadinya pembajakan demokrasi oleh sekelompok elit daerah, perekonomian daerah biaya tinggi (Fitrani, et al., 2005:57-79) dan munculnya defense mechanism (Utomo, 2003:143-145).
● Fitrani et al. (2005) menyatakan : “Pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri”.
● Jika ada yang salah di “Negeri Seribu Kubah” ini, marilah kita tegak berdiri membenahinya secara bersama-sama, mengurai benang yang kusut tanpa menimbulkan masalah baru demi Rokan Hilir yang lebih maju dan bermarwah di masa depan. Itu lebih strategis dan mempunyai perspektif ke depan.
● Atau sesuai dengan UU, mari kita bicara terbuka tentang penggabungan kembali ke Kabupaten Induk karena kita memang tidak mampu untuk mengurai benang kusut itu.
● Pertanyaannya : Mengapa harus mekar ? Mengapa tidak bergabung kembali ? Toch UU-nya sama : DOB dan PENGGABUNGAN.
Referensi :
● Fitrani, Fitria, Bert Hofman dan Kai Kaiser. 2005. “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in A Decentralising Indonesia”, Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol.41 No.1 tahun 2005, hlm. 57 – 79.
● Dwiyanto, Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Yogyakarta.
● Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta.
● Tarigan, Antonius. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah. Artikel dalam Majalah Perencanaan Pembangunan. Bappenas. Jakarta.
● Tjokroamidjojo, Bintoro. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani, Tanpa Penerbit. Jakarta.
● Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
● _______. 2008. Studi Kajian Penataan Daerah Otonom Baru. Tim Kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Bappenas. Jakarta.
● _______. 2005. Pemekaran Wilayah. Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Hukum Depdagri. Jakarta.
●Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
● Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah.
● Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah.
● Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.***(Berbagai-sumber)