ROKANHILIR – Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau mengalami peningkatan yang sangat signifkan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil (CPO) sebagai sumber minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel.
Namun industri pengolahan kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan. Jika tidak dilakukan pengolahan dengan baik dan profesional, maka limbah industri merupakan sebuah potensi bencana bagi manusia maupun lingkungan.
Baca juga : Kalna duga satres narkoba takut hadapi sidang praperadilan
Salah satu limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit berupa limbah Cair. Limbah Cair yang dihasilkan berupa Palm Oil Mill Efuent (POME) air buangan kondensat (8-12%) dan air hasil pengolahan (13-23%). Limbah cair ini juga bisa menyebabkan keracunan.
Maka dari itu pemerintah telah mengatur cara pengelolaan limbah dengan baik melalui Peraturan Pemerintah Nomer 101 Tahun 2014, Pasal 1 angka (1) mengatakan ‘Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi : pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan.
Untuk mengawal terkait dengan pengelolahan limbah B3, Pemerintah telah mengatur dalam UU Nomer 32 Tahun 2009. Dan dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a: ‘Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan ligkungan hidup’.
Baca juga : Andi Nugraha: Ini bukan kasus, tapi merebut hak warga negara
Dan diperkuat pasal 53 ayat 1, huruf a, peraturan pemerintah nomer 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang menyebutkan ‘Pemegang izin lingkungan berkewajiban menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup’.
Bahkan sanksi tegas di UU No 32 Tahun 2009, Pasal 76: 1, ‘Menteri, gubernur, atau Bupati dan Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
2, Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Baca juga : Wahyudi: Jangan alergi sama wartawan, Kip & Pers ada undang-undangnya
Selaras dengan penuturan Kepala Dinas DLH Rohil, Suwandi S.Sos saat dikonfirmasi seusai acara kajian AMDAL yang dilakukan peneliti dari UMRI (Universitas Muhammadiah Riau) terhadap PKS PT. SRM (Sawit Riau Makmur) yang berada di Desa Teluk Mega, Kecamatan Tanah Putih, bahwa hasil kajian tersebut dinyatakan diatas baku mutu. Sehingga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Ya, PT. SRM telah membuang limbah diatas baku mutu kesungai Rokan. Dan kesepakan antara pihak perusahaan dan masyarakat telah disepakati dangan point pinal dari DLH,” ujar Suwandi, di Aula Hotel Lion, (27/12/18), di Bagansiapi-api.
Dilanjutkan, poin-poin kerugian masyarakat dan lingkungan telah dihitung secara oleh pihak ke 3 ialah, mengurangnya mata pencarian nelayan karena disebabkan ikan sudah banyak yang mati akibat dampak pencemaran.
Baca juga : Sosok Toro Laia dimata, Wahyudi: Wartawan anti korupsi upaya meredam langkah toro
“Jadi kewajiban perusahaan terhadap masyarakat yang wajib dibayar oleh PKS SRM ke kas negara lebih kurang Rp 200 Juta. Disampaikan pihak perusahaan dalam jangka waktu 1 bulan mereka harus sudah mengembalikan ke negara,” paparnya, menyambungkan.
“Jika kedepan masih melakukan kesalahan yang sama, maka DLH Rohil akan mengambil langkah tegas terhadap PT. SRM dan sanksi tegas berupa pembekuan perizinan. Ini juga berlaku terhadap setiap perusahaan yang berada di Rohil,” jawab Suwandi saat ditanya para audiensi.
Acara tersebut dihadiri, perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kesehatan, organisasi HNSI, Camat Tanh Putih, Lurah, serta datuk penghulu, tokoh masyarakat, dan Ketua Pemuda Sedinginan.**
Laporan : Cahyani