Asa & Harapan Setiap Orang Tua Kepada Anaknya

Bertumpu pada tiang, sambil melihat ramainya orang tua mendaftarkan anaknya untuk bisa di didik di MAN 1 Rokan Hilir (Rohil), mereka saling berganti hilir mudik, namun tetap tertib dan saling menghargai.

Dari berbagai strata sosial, dan berbagai sekolah yang ada di Rokan Hilir, namun saya yakin harapan mereka sama, untuk anaknya jauh lebih baik, menguasai ilmu pengetahuan dunia dan akhirat.

Wajah-wajah letih sang Ibu, ingatkan aku ketika sekolah dulu, cinta ibu tak bertepi, seperti itu rasanya, di usiaku yang masih lugu, kelas 3 MTs swasta disebuah kecamatan, harus menempuh jarak 16 km setiap hari.

Jarak tersebut, bila ditempuh 1.5 jam dengan mengayuh sepeda bila tidak hujan. Apa bila hujan, maka sering terlambat dan bersiaplah dihukum guru.

Di usia itulah Ayahandaku, pergi selama-lamanya, setelah lebih kurang 4 tahun menderita stroke.

Keterbatasan ekonomi, jujur membuatku mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah ke kota. Kata Ibuku, “Tami ( nama kecil sebutan akrab Mak padaku), berulang lah (sekolah dengan pulang kerumah/tidak kos), itu yang kita mampu kalau ke kota.

Kakak dan Abangmu, juga butuh dana”, ditambah kesehatan Ayah. Tentunya aku terdiam tanpa bisa menjawab, kondisi ayah yang masih sakit serta keuangan yang juga sulit, membuatku tidak punya pilihan.

Tiga tahun berlalu, jalan itu kulalui tak jarang berangkat habis subuh, belum lagi bila hujan. Tak jarang sampai kerumah jam 17.00 Wib, bahkan bisa pas azan Maghrib, baru sampai ke rumah”.

Suasana hari ini mengingatkanku masa itu, kegigihan Ibuku, untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya, sebagai mana Ibu-ibu hari ini.

Setelah tiga tahun di MTs tanpa Ayah, Ibu memintaku kepesantren di Ibukota Kabupaten, walau saat itu keinginanku masuk SMU (SMA). Namun alasan yang sama dana (Uang,red), kalau di pesantren ada saudara tempat menopang, yang kebetulan bekerja di yayasan itu.

Tanpa ditemani Ibu, namun yakin dia tetap berdoa buat anaknya, berbekal uang seadanya aku di titipkan pada saudara Hasan RI, (maklum saat itu aku tidak tau apa-apa), melangkah dengan sedikit ragu, melangkah meninggalkan kampungku, jadilah aku seorang santri.

3 tahun kulalui, keterbatasan belanja, mau tidak mau harus menutup mata dari kondisi kawan-kawan yang lain.

Alhamdulillah, bersama beberapa kawan, aku mengajar mengaji anak-anak di lingkungan komplek, selama dua tahun. Walau mengajiku cukupan, tapi kata ustazd ku dulu, tajuid dan mahrajnya kamu sudah lumayanlah.

Sampai akhirnya aku menyelesaikan studi di pesantren, teman-teman terus kuliah, keinginan yang besar harus kusimpan, melihat kondisi keuangan keluarga. Dua tahun membenamkan diri dikampung, bekerja serabutan jadi buruh, membawa kelapa yang beratnya melebihi berat badanku sendiri.

Alhamdulillah, Dua tahun bukan waktu yang singkat, uang yang terkumpul mampu mengantarkan kakiku kuliah ke Jawa, dengan sedih ibundaku melepasnya, walau dia berat (kulihat dari raut wajah dan air matanya), yang kuingat “Nak pergilah untuk cita-citamu…! Mak akan selalu berdo’a buatmu”.

Maaf sampai disini aku tak mampu melanjutkan. Tak terasa ada genangan air yang terasa di mataku.

Hanya kata Terima Kasih Ibundaku. Semangatmu, membuatku seperti ini, semoga di Alam Sana Ayah dan Mak Bahagia, Alfatiha…

“Ya Allah, Berikan tempat yang terbaik bagi kedua orang tuaku. Aamiin…!!!

Untuk Ibu-ibu yang menghantar anaknya hari ini, ke ikhlasanmu, Insya Allah, mempermudah jalan bagi pendidikan anak-anak kita.

Semua orang tua pasti berkeinginan yang sama, anak-anaknya kelak berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan negara…!