GoPesisir.com – Kembali keakar dasar tempat berpijak setelah terlupakan atau dilupakan dalam kurun waktu yang cukup lama, kata itu kembali muncul dan digaungkan oleh Wakil Bupati Rokan Hilir, Drs. H. Jamiluddin. Ada banyak reaksi yang muncul.
Jangan-jangan karena paceklik kita kembali ingat masyarakat dan akhirnya kita tersadar betapa selama ini kita jauh menyimpang. Betapa selama ini nilai-nilai kebersamaan kita nafikan dalam pentas kehidupan politik dan pemerintahan kita. Betapa materialistisnya kita ketika menggerakkan roda pembangunan fisik sehinga kita tersesat dalam hitungan angka-angka semu ketika kita berada dalam kondisi surplus.
Memahami Makna Gotong Royong
Menurut Wikipedia : Gotong royong merupakan istilah Indonesia untuk bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Istilah ini berasal dari gotong berarti “bekerja”, dan royong berarti “bersama”.
Sementara KBBI : go·tong ro·yong v bekerja bersama-sama (tolong- menolong, bantu-membantu):
Menurut Koentjaraningrat, budaya gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti.
Budaya gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian.
Sedangkan budaya gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, entah yang terjadi atas inisiatif warga atau gotong royong yang dipaksakan.
Dalam perspektif sosiologi budaya, nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa mengharap balasan untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu.
Politik Kita vis a vis Gotong Royong
Banyak analis menulis bahwa Demokrasi Politik kita pasca 1998 lebih cenderung kearah Demokrasi Kapitalis dimana uang adalah panglima.
Rakyat dalam sistem Demokrasi Kapitalis pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai “tumbal”, “tukang ojek”, yang mengantar agar penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan, baik di Legislatif maupun di Eksekutif. Setelah rakyat “dibayar”, “diupah”, maka putuslah hubungan, dan rakyat sudah pasti dilupakan.
Disisi lain para analis juga mengungkapkan bahwa politik kita adalah politik tanpa idealisme dan hanya didorong oleh impuls pragmatisme dan hedonisme. Akibatnya semakin langkanya collective goods, seperti rasa keadilan, rasa kemakmuran, keamanan, dan lain sebagainya.
Meminjam istilah Russell Hardin (2003), yang lebih banyak justru terproduksinya collective bads seperti korupsi berjamaah, ” degradasi kualitas hidup, dan lain sebagainya.
Saat ini Indonesia dikendalikan oleh, meminjam istilahnya Mancur Olson (2000), banyak stationary maupun roving bandits. Mereka bercokol di kursi-kursi kekuasaan maupun berkeliaran menjadi makelar proyek dan mafia anggaran dan hukum.
Pertanyaannya, mungkinkah kita bisa menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam semangat demokrasi sebagaimana terpapar dalam uraian diatas?
Mungkinkah semangat gotong royong akan bisa tumbuh ditengah berkibarnya arus hedonisme, individualisme dan materialisme yang menyelimuti konsep berfikir dan gaya hidup kita, baik dalam berpolitik maupun dalam berpemerintahan?
Posting by : Asmara Hadi Usman