Gopesisir.com, Rohil – Berbincang santai, tapi bukan bincang sembarang bincang. Adalah mantan Ketua DPRD Rokan Hilir, H. Dedi Humadi, yang menyatakan secara jujur dan terbuka bahwa perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanyalah bumbu penyedap demokrasi di negeri ini, khususnya di Kabupaten dengan julukan Negeri Seribu Kubah.
Bumbu penyedap. Ya. Ia memang dibutuhkan untuk membuat berbagai jenis masakan menjadi lebih gurih dan enak disantap. Dan bumbu penyedap itu hanya satu meskipun merk dan kemasannya berbeda. Bumbu penyedap berdasarkan kajian ilmiah, bisa merusak memori jika dikonsumsi berlebihan di dalam diri.
Penyedap buatan yang paling banyak digunakan dalam makanan adalah vetsin atau monosodium glutamat (MSG) yang sering juga disebut sebagai micin. MSG tidak berbau dan rasanya merupakan campuran rasa manis dan asin yang gurih.
Mengonsumsi MSG secara berlebihan akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang dikenal sebagai Chinese Restaurant Syndrome.
Tanda-tandanya antara lain berupa munculnya berbagai keluhan seperti pusing kepala, sesak napas, wajah berkeringat, kesemutan pada bagian leher, rahang, dan punggung.
Jujur. Saya terkesima mendengar pernyataan tersebut keluar meluncur dengah fasih dari mulut seorang mantan Ketua. Karena penasaran, saya terusik untuk bertanya ; “Bukankah dinda berada di garda terdepan perjuangan tersebut. Dan mengapa dinda bisa pesimis dengan keadaan ?”
Dedi Humadi menarik nafas. Sungguh sangat dalam. Ada tekanan bathin dalam dirinya untuk berbicara lebih terbuka. Akhirnya dia menjawab “Wak sudah tiga periode saya duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pernah menjabat sebagai Ketua DPRD. Saya faham betul berbagai pemikiran yang hidup dan berkembang disana setiap detik, menit dan jam. Setiap hari, minggu, bulan dan tahun. Bahkan sudah hafal karakter masing-masing”.
Ini berat, lanjutnya. Dan seringkali menjadi beban psikologis bagi saya pribadi. Itulah kenyataan yang sesungguhnya. Sebuah kenyataan yang sulit untuk diakui, tetapi juga sulit untuk dibuang apalagi diperbaiki. Begitu kronis sampai-sampai ia berucap : “Jangan pilih kami semua lagi”.
STOP. Perbincangan di atas lama tersimpan dalam memori saya. Dan dalam perjalanan waktu, setelah berdialog dengan banyak sahabat, baik di DPRD maupun diluar DPRD, saya pun mulai memahami kondisi yang ada. Dari kajian dan analisis sederhana tanpa outline sampailah saya pada satu kesimpulan “virus Lasswellian telah menggerogoti tubuh para politisi demikian akut”.
Terlepas apa pun retorika idealisme yang digembar-gemborkan, keterlibatan setiap orang dalam politik pada dasarnya adalah untuk memastikan politik Lasswellian yang menguntungkan mereka.
Menurut Harold Lasswell (1935), politik adalah masalah “who gets what, when, how – siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”. Karena itu, duduk menguasai politik berarti seseorang bisa memastikan akan mendapat konsesi apa dan tentunya dengan cara yang cepat, efektif dan efisien.
Jika sudah begini keadaannya, benar apa yang diungkap H. Dedi Humadi dengan analogi bumbu penyedap seperti diuraikan pada awal tulisan.
Akhirnya terserah kepada rakyat memutuskannya. Sebab rakyat adalah bilangan riel untuk menentukan angka kursi bagi politisi – duduk atau tersingkir dalam sebuah kompetisi.
Hidup Daulat Rakyat !!!
posting by: Asmara Hadi Usman