GoPesisir.com, Rokan Hilir – Terima kasih DPRD ku. Itulah kata yang bisa ku ucapkan.”Kealotanmu” ketika membahas RAPBD-P tahun 2017 sehingga menjadi APBDP tahun 2017. khususnya tentang angka-angka yang sejatinya diperuntukkan kepada kami – rakyat di Kabupaten ini – baik dalam hearing-hearing terbuka maupun tertutup sampai akhirnya Rapat Parpurna digelar, telah membuka mata hati kami, rakyat di negeri Seribu Kubah ini tentang demokrasi yang begitu mudah dikreasi dan dimanipulasi demi untuk itu dan demi untuk ini. Dan diatas segalanya demi “kesejahteraan rakyat”,tapi akhirnya berujung pada pundi masing-masing.
Bicaramu sebagai penerima Mandat Suci kini telah engkau preteli dengan “selimut” angka-angka yang pasti, bukan angka asumsi.
DPRD ku. Dulu kepada kami diajarkan di Sekolah bahwa yang “berdaulat adalah rakyat”. Kedaulatan rakyat itu bagi kami sungguh indah, tinggi dan suci. Rakyatlah yang berkuasa, rakyatlah yang punya daulat. rakyatlah yang memilih. Saking berdaulatnya rakyat, kami hampir percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
DPRD ku. Secara teknis prosedural kami juga didoktrin bahwa kedaulatan rakyat dapat diwujudkan secara nyata dalam pemilu rutin lima tahunan untuk menentukan arah nasib kami. Dan dalam tahap inilah engkau wahai DPRD ku membuka mata kami secara lebar, bagaimana antara teori dan praktek mengalami deviasi.
Mandat, yang dulu dalam pandangan kami suci, ternyata kini tidak lagi suci. Mandat bisa dibeli dan ketika telah duduk pun bisa, dikreasi, dipreteli dan dijadikan komoditi. Kami, rakyat telah sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam Pemilu Legislatif siapa yang menggunakan uang besar dengan metode yang tepat, dialah yang akan mendapat “mandat” dari rakyat. .
DPRD ku. Engkau telah memberikan gambaran sempurna bagaimana mandat suci kedaulatan rakyat secara teknis bisa jadi komoditas, diamputasi dan dimanipulasi lalu dibeli. Uang dalam setiap pemilu menjadi penentu siapa yang bisa maju. Tak penting visi, tak perlu kompetensi. Uang berkuasa, rakyat harus terima. Lalu “kedaulatan rakyat” menjadi fatamorgana.
Terima kasih DPRD ku. Perjalanan dan sepak terjangmu di panggung terdepan demokrasi di Kabupaten yang dilanda defisit ini, akhirnya membuat kami faham tentang “demokrasi”, meskipun dengan mengerutkan dahi. Tak percaya, seolah-olah itu hanya dalam dunia mimpi.
Kami mengerti bahwa dalam demokrasi, kekuasaan adalah saudara kembar dari kekayaan. Kekuasaan adalah juga jembatan bagi para penumpuk harta. Dan semakin kaya seseorang, semakin berkuasalah dia. Dengan konsep ini kami juga mengerti mengapa makin banyak orang kaya rela menghabiskan uangnya untuk terjun “berdemokrasi”.
Terima kasih DPRD ku. Engkau telah membuka selubung manipulasi atas nama demokrasi.
Pelajaran normatif tentang demokrasi yang kami dapat dalam buku-buku sejarah adalah bahwa demokrasi cara paling masuk akal untuk mensejahterakan orang banyak – kami rakyat yang engkau wakili – ternyata hanya isapan jempol.
Kedo klasik “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”, yang masih diajarkan di bangku Sekolah dan Kuliah, ternyata telah berganti : “uang mampu membeli kuasa, dan kuasa mampu menghasilkan uang”.
DPRD ku. Engkau mengambarkan secara sempurna bagaimana kematian teori klasik demokrasi. Bagaimana engkau duduk di DPRD dan untuk apa jabatan itu engkau gunakan.
DPRD ku. Kami rakyat akhirnya faham. Dengan uang Parpol bisa dikuasai dan dengan Parpol uang bisa diakumulasi. Dan itu menjadi hal lumrah dalam politik masa kini.
“Separation of Power”, “capitalization of power”
DPRD ku. Kami terkesima menemukan premis baru bahwa kekuasaan mampu menerjang lobi. Lobi melahirkan upeti. Upeti memungkinkan jejaring kekuasaan bisa diperluas.
Kami juga terkesima, Eksekutif bisa tak berkutik. Eksekutif bisa tak berdaya. Eksekutif bisa tertunduk lesu.
DPRD ku. Kami hanya mengajak untuk mengingat bahwa sejak awal para pemikir demokrasi mendedikasikan agar sejumlah cabang kekuasan harus dipisahkan. Demi melindungi kepentingan banyak orang dari nafsu keserakahan, ketamakan yang berujung lahirnya generasi Qarun Abad XXI.
Sejak zaman Jhon Locke hingga abad ini, narasi besar demokrasi mengatakan bahwa setiap cabang kekuasaan didesain utk menjamin “ragam kepentingan rakyat banyak” dalam satu negara, propinsi, kabupaten, kota.
Eksekutif bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Yudikatif bekerja untuk menegakkan hukum – demi kepastian hukum dan rasa keadilan. Legislatif bersidang merumuskan regulasi yang berpihak pada rakyat, Regulasi APBD yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan Mass Media menjadi alat kontrol atas kemungkinan penyimpangan perilaku para pejabat, baik di Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif.
DPRD ku. Engkau telah mendemonstrasikan secara sempurna bahwa telah terjadi pergeseran teori rumit “separation of power” menjadi “capitalitation of power”. Rupanya di zaman reformasi ini, Pemisahan cabang kekuasaan utk tujuan kepentingan rakyat, begitu rumit untuk dilaksanakan.
Akhirnya mata kami terbuka. Hampir semua cabang kekuasaan telah dijadikan lahan menambang kekayaan, baik di Eksekutif, Legislatif, mapun di Yudikatif. Bahkan Mass Media pun ikut terjebak di dalamnya. Itulah kenyataan pahit yang harus diterima sebagai sesuatu yang nyata.
DPRD ku. Engkau telah membuka mata bathin kami tentang nasib demokrasi yang telah dikreasi, diamputasi dan dimanipulasi. Dan jika keadaan ini terus berjalan, ia akan menemukan jati diri sendiri, pulang kepangkuan Ilahi – mati.
Wahai rakyat, 2019 menanti didepan pintu nurani mu. Tarik kembali mandat tentang daulat rakyat itu bagi yang tidak berjuang untuk kesejahteraanmu. Cukup sudah dan sudah lebih dari cukup. Jangan korban daulatmu hanya untuk mengisi kehidupan satu hari pun tidak mencukupi. Bangun demokrasi dengan daulatmu : Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kritisi wakilmu ketika semua fasilitas atas nama rakyat sudah engkau beri, tetapi mereka juga tidak mampu berteriak lantang secara konseptual untuk kemajuan dan harkat anak negeri. Mereka juga bisu untuk berkata yang benar adalah benar dan yang salah adalah juga salah.***
By : Asmara Hadi Usman