Posting By : Asmara Hadi Usman
GoPesisir.com – Abu Dzar al-Ghifari adalah sahabat Nabi SAW yang zuhud dan wara, sosok yang saleh dan sangat bersahaja, tokoh ternama ahli al-shufah, yang selalu berkumpul di beranda rumah Nabi SAW bersama mereka yang ahli ibadah.
Ketika figur yang baik ini suatu kali meminta jabatan, Nabi SAW mencegahnya. Urusan publik (rakyat) bukan sekedar urusan ambisi pribadi, ambisi sekelompok elit partai, ambisi beberapa tokoh yang menyebut diri sebagai tokoh masyarakat, tetapi amanah yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT.
Ketika hendak menerima amanah mengganti kan Abu Bakar R.A, Umar bin Khattab R.A merasa berat, karena betapa ia merasa tak mampu melampaui kebaikan Khalifah pertama itu, baik dalam aspek kepemimpinan maupun aspek kedermawanan. Padahal, sejarah mencatat betapa Umar r.a. yang lebih suka disebut Amir al-Mu’minin terbilang pemimpin yang kuat, sukses, dan paling menjunjung tinggi amanah dalam mengurus rakyat. Dialah sosok yang dikenal dengan sebutan Umar al-Faruq, sering berkeliling di malam hari untuk memantau apakah ada rakyatnya yang kelaparan.
Khalid bin Walid setelah masuk Islam menjadi panglima perang tertangguh hingga dijuluki Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam sebagai syaifullah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. tidak lepas dari keperkasaan Khalid. Tetapi, dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Umar dari jabatannya sebagai panglima perang. Dia ikhlas menerimanya seraya berkata, aku berperang bukan karena Umar, melainkan
karena Allah.
Bagi Nabi Sallallahu dan para sahabat utama, jabatan bukanlah posisi yang harus ditempati, apalagi dikejar dengan hasrat ambisi duniawi. Jabatan itu adalah amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi. Al-futuwwah — siapa pun yang bersedia memegang jabatan umat atau rakyat terletak pada penunaian amanah dan pertanggungjawabannya dengan penuh kehormatan diri.
MEMBURU SUMPAH BARU
Baca Juga : PAK!!! MOHON JANGAN DZOLIMI MEREKA
Menurut Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah Pasal 110 ayat 2, sumpah janji itu berbunyi “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah, berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Sumpah, dalam bahasa agama, bertujuan untuk menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya. Dengan demikian, kaitan dengan sunpah janji para pejabat dapat dikategorikan wajib karena menyangkut persoalan sangat penting yang harus dilaksanakan oleh yang bersangkutan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti sumpah yaitu: 1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan. 2. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar. 3. Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Sedangkan janji diartikan sebagai ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu). Janji yang diucapkan oleh para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimaknai sebagai kesanggupan dan kesedian yang bersangkutan untuk melaksanakan, mengemban tanggung jawab sebagai pimpinan daerah serta merealisasikan seluruh janjinya kepada rakyat.
Dengan demikian, Sumpah janji jabatan yang diucapkan saat pelantikan, harus dipahami oleh para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta jajaran terkaitnya sebagai berikut :
Pertama, sumpah diyakini sebagai janji kepada Allah SWT. Ucapan itu tidak hanya sebatas simbolik dan ritual belaka. Sumpah pertanggungjawabannya tidak hanya kepada manusia tetapi kepada Allah. Jabatan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta jajaran terkait akan dimintai pertanggung jawaban di sisi Allah SWT. Untuk itu, sumpah yang diucapkan tidak boleh dilupakan apalagi sengaja dilanggar.
Kedua, dalam sumpah janji jabatan yang tak boleh dilupakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah : menjungjung tinggi Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, sumpah sebagai pengingat janji kepada rakyat. Janji itu dijabarkan dalam visi-misi dan program. Rakyat menanti kerja nyata mereka.
Keempat, sumpah janji jabatan dijadikan sebagai tekad bulat untuk bekerja menjalankan amanat yang telah diberikan rakyat -menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Mendahulukan kepentingan rakyat yang dipimpin di atas kepentingan pribadi dan golongan, mewakafkan dirinya untuk rakyat selama menjabat sebagai pemimipin baik waktu, pikiran dan tenaga
Meskipun tidak ada larangan untuk maju ke jenjang yang lebih tinggi, namun secara etis dan moral jabatan jangan sampai diperlakukan sebagai spekulasi karier politik seseorang yang didorong syahwat kekuasaan. Ketika Sumpah janji awal belum terlaksana secara optimal, pantaskah mengejar sumpah baru ?