PEKANBARU – Wartawan Senior, Wahyudi El Panggabean, berharap lewat berita-berita persuasif kalangan pers bisa berperan dalam mendinginkan suhu politik regional Riau pasca pelantikan Pejabat Walikota Pekanbaru.
“Apa salah Muflihun? Beliau dilantik Gubernur Riau sebagai. PJ.Wako Pekanbaru, berdasarkan SK Mendagri Nomor 131.14-1223 dan 131.14-1222 tanggal 13 Mei 2022. Sah & konstitusional ‘kan?” tanya Wahyudi.
Berbicara kepada segelintir Wartawan di kediamannya, Wahyudi yang sudah menjadi wartawan sejak 1985 itu menyebut Muflihun, S.SPT., M.AP adalah sosok yang paling tepat membenahi peri-persoalan Kota Pekanbaru pasca ditinggalkan, Firdaus, M.T.
Setalah membaca riwayat hidup dan pendidikan Muflihun, Wahyudi menyebut, sebagai putra kelahiran Pekanbaru, Muflihun – lah yang ditunggu publik Pekanbaru untuk membenahi kota mereka.
“Besar dan sekolah di Pekanbaru. Pernah 2 kali menjadi Camat di Pekanbaru. Muflihun sosok yang paling sahih untuk jabatan PJ. Wako Pekanbaru,” kata Wahyudi yang baru ditetapkan menjadi Ketua DPD Perhimpunan Jurnalis Siber (PJS) Provinsi Riau, itu.
Namun katanya, ada satu hal historis yang tidak diketahui banyak warga Pekanbaru. Yaitu, peran ayahanda-nya Muflihun, Rusli Yatim, yang mantan pejabat di lingkungan Pemko Pekanbaru.
“Almarhum ayahnda beliau, salah seorang yang berperan dalam pemindahan Ibu Kota Riau. Dari Bukit Tinggi ke Kota Pekanbaru,” ungkap Wahyudi.
Menangggapi beredarnya rumor tentang penunjukan Muflihun di luar usulan Gubernur Riau ke Mendagri, Wahyudi menyebut, isu itu yang mesti diklaripikasi oleh jurnalis pada pihak tekait dan Pakar Tata Negara.
“Di sinilah peran pers untuk menyajikan informasi akurat & berimbang atas perolehan konfirmasi dari pihak berwenang dan analisa dari ahlinya,” kata Direktur Utama Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) itu.
“Andai ada berita yang proporsional tentang masalah ini, tentu akan menjadi acuan publik. Sekaligus diharapkan bisa meredam suhu politik regional,” tuturnya.
Menyadari tidak-adanya kepastian dalam politik, Wahyudi mengkhawatirkan situasi labil ini akan mewujud jadi api dendam yang merugikan daerah.
“Jadi, pers Riau sebaiknya berperan sebagai katalisator informasi. Baik wartawan dari media mainstream maupun media partisan. Mari sama-sama mendinginkan suasana,” imbau Wahyudi.
Kepemimpinan Riau, jelas Wahyudi adalah catatan kelam masa silam. Bibirnya mulai menyemai sejak era 80-an.
“Saat itu, Wako Pekambaru mengundurkan diri. Di era berikutnya ada calon Gubernur Terpilih tidak dilantik sampai saat ini,” katanya.
Dendam politik terus berlanjut hingga pra-revormasi. “Ironisnya di era reformasi bibit dendam itu beroleh arena saling balas. Apa boleh buat, Pemimpin Riau yang diinapkan di Hotel Prodeo mencapai titik: Hattrick. Ironis ‘kan?! Wahyudi setengah bertanya.
Pekerti yang kita petik dari catatan sejarah itu, demikian Wahyudi: rekonsialisasi harus segera digelar. Toh, demokrasi modern tidak lagi ditentukan otoritas. Tetapi oleh pengaruh.
Terlepas siapa yang paling benar. Yang pasti, katanya: Pencongkelan mata dibalas dengan pendongkelan mata, semua orang akan buta.
“Dendam dan kebencian akan merugikan kita semua,” tuturnya.
“Kita sadari. Terlalu banyak tugas humanis yang mesti diselesaikan Pak Gubri hari ini. Terlalu ribet masalah Kota Pekanbaru yang belum membuat Pak PJ. Wako bisa tidur nyenyak,” ungkapnya.
“Memaafkan adalah moral tertinggi. Pers lewat berira-berita persuasif bisa membuka jalan. Damai itu indah,” katanya.**(Red)