PEKANBARU – Tiga terdakwa yang sedang menjalani sidang terkait Fee Base Income di Bank Pembangunan Daerah Riau Kepri (BRK), HF, MJF, dan NCA siap menjadi Justice Collaborator terhadap persoalan yang sedang mereka hadapi.
Hal ini disampaikan oleh pimpinan kuasa hukum ketiga pengacara tersebut, Topan Meiza Romadhon, saat hendak menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (19/8/2021). Menurutnya, ketiga kliennya sudah siap bekerjasama dengan penegak hukum guna membuka tabir besar di seputar masalah ini.
“Bagi kami, pesan yang disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim yang memimpin sidang kasus ini cukup terang dan jelas, bahwa kasus ini adalah kasus besar dan rumit,” ujar Topan sapaan Kuasa Hukum.
Masih lanjutnya, dalam prosesnya haruslah objektif serta menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi perjalanan perbankan ke depan, terutama perbankan yang dimiliki oleh pemerintah; nasional atau pun daerah.
Maka dari itu, kami juga menyambut baik keinginan ketiga klien kami untuk mengajukan diri sebagai justice collaborator agar perkara ini menjadi terang benderang, tiada tabir gelap yang menyelimuti lagi, let’s pierce the veil of this case for the sake of justice,” kata pengacara muda ini.
Saat ditanya langkahnya mendukung keinginan para klien untuk melakukan hal tersebut apakah tidak bertentangan kepentingan BRK, seperti yang ditanyakan awak media saat konferensi pers di Kantornya, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) itu menjelaskan jika dirinya dan tim tidak lagi menjadi tim kuasa hukum BRK sejak 9 Agustus 2021, saat setelah konferensi pers digelar.
“Sebagai penasehat hukum, tentunya rekan-rekan sangat paham dan mengerti apa Batasan-batasan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kami merasa langkah kami saat melakukan konferensi pers kemaren, merupakan sebuah langkah pembelaan di luar pengadilan bagi para klien kami yang sedang menjalani persidangan,” katanya.
“Yang kami inginkan dari hasil konferensi pers itu adalah sebuah pengetahuan bagi public bahwa street trial justice, tidak layak diterima oleh ketiga terdakwa ini. Apalagi, persoalan ini adalah persoalan perdana yang disidangkan di Indonesia,” ujarnya.
Namun, Ketika konferensi pers tersebut ia menyebabkan keluarnya surat pemutusan kuasa dari BRK terhadap kami selaku lawyers Lembaga mereka, bagi pihaknya tidak menjadi persoalan. Karena merasa langkahnya sebagai yang memegang kuasa dari ketiga terdakwa dan juga BRK saat itu, sudah sangat tepat.
“Dan dalam konferensi pers itu, terang dan jelas bagaimana kami menjalankan amanat para klien kami yaitu Para Mantan Pimpinan Cabang,” jelasnya.
Afrimatika Dewi, S.H., salah satu anggota tim kuasa hukum TMR juga mengatakan hal senada. Baginya, pencabutan 2 surat kuasa oleh BRK malah menjadi momentum baik untuk membela habis-habisan para klien mereka.
“Kami akan bekerja semaksimal mungkin untuk mematahkan dakwaan jaksa terhadap para klien kami di persidangan dan target kami mereka mendapatkan keadilan yang semestinya oleh pengadilan,” tegasnya.
“Untuk mendapatkan pandangan yang adil dari majelis hakim, kami juga sudah memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru yang juga menjadi Ketua Majelis dalam perkara ini yaitu Yang Mulia Hakim Dahlan, untuk berkenan menjalankan sidang secara offline,” imbuhnya.
“Agar semua bukti dan keterangan dapat dilakukan cross examination terhadap Para Saksi dan Bukti yang akan diajukan Pihak Kejaksaan secara langsung sehingga terciptanya proses persidangan yang adil bagi Klien kami dapat diraih,” kata Deei.
Maka dari itu, lanjutnya, saat mereka menyampaikan hendak menjadi justice collaborator, saya termasuk orang yang bergairah mendengarnya. Karena dengan demikian, publik akan mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi,” sambungnya.
Di sisi lain, Denny Rudini, S.H., sebagai kuasa hukum dan penanggungjawab komunikasi kepada keluarga klien mengungkapkan bahwa, keluarga klien sudah diberitahu tentang keputusan pengajuan diri sebagai justice collaborator yang diajukan oleh ketiga suami mereka.
“Saat surat itu kami terima dari suami mereka Ketika kami melakukan besuk untuk mengecheck kondisi menjelang persidangan hari ini, salah satu terdakwa menyerahkan surat tersebut kepada kami. Dan dijelaskan mereka, isinya adalah pengajuan diri sebagai orang akan akan bekerja sama dengan penegak hukum untuk kasus yang dinilai pelik dan besar ini,” terangnya didampingi oleh Susi Susanti, S.H., dan Ibrar S.H. Menurut mereka, semua yang dilakukan saat ini adalah demi BRK yang lebih baik.
Untuk diketahui, Justice Collaborator dikenal dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam surat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 10 Agustus 2011 itu juga mengutip pasal 37 Konvensi PBB anti Korupsi tahun 2003 antara lain pertimbangan negara untuk memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan Kerjasama yang subtansial dalam penyelidikan atau kejahatan yang diterapkan dalam konvensi.
Selanjutnya juga dimaktubkan pada ayat berikutnya, bahwa setiap negara wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama subtansial dalam penyelidikan atau penuntutan.
Perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (wishtleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) juga diatur dalam pasal 10 Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“I can only lead you to the truth. I can’t make you believe it,” Raymond Reddington.**(red/tim)