Mendesign Manusia Anti Korupsi

RIAU – Persoalan dan perbincangan Korupsi hampir tiap hari dibicarakan. Bahkan karena bahayanya, Korupsi menjadi musuh peradaban, sehingga Korupsi diperingati setiap Tahun pada tanggal 9 Desember menjadi Hari Anti Korupsi.

Hari Anti Korupsi diperingati oleh seluruh dunia, ini pertanda masyarakat beradab mengerti bahwa Korupsi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat. Karena memang persoalan Korupsi ini menyangkut masalah yang kompleks.

Bahkan Kazuo Murakami mengatakan, bahwa kejahatan itu sangat sulit di berantas, karena memang gen jahat tersebut sudah ada semenjak manusia belum lahir.

Seperti Kazuo Murakami mengkonfirmasikan bahwa, tidak mungkin memberantas korupsi hanya dengan payung hukum semata, tetapi harus ada campur tangan ilmu-ilmu lain dalam menghadapi bahaya Korupsi.

Hukum positif sepertinya sudah kehabisan obat untuk mencari formulasi yang tepat guna mencegah dan memerantas Korupsi. Bongkar pasang pasal-pasal dalam undang-undang dan bahkan bongkar pasang serta menambah institusi penegak hukum dibidang korupsi juga tidak membuat korupsi semakin menurun.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum positif kalah cerdik dengan manusia jahat.

Cara pandang hukum positif yang memurnikan dan membersihkan anasir-anasir persoalan non-hukum yang melatarbekangi terjadinya Korupsi seperti yang dianut doktrin kesenian justru kata W.D Putro mereduksi masalah hukum yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanis, deterministik.

Sehingga melemahkan daya antisipasi hukum terhadap perkembangan masyarakat. Karena itu, mencegah dan memberantas korupsi tidak bisa lagi mengandalkan hukum positif, karena memang hukum positif itu dijalankan oleh manusia.

Seperti yang dikatakan oleh Sadjipto Rahardjo, sekalipun hukum positif itu baik, jika dijalankan oleh manusia yang jahat, maka hukum positif akan di jadikan sarana untuk mencapai tujuan subjektif.

Mendesign manusia Anti Korupsi untuk memberantas dan mencegah Korupsi sepertinya perlu dipikirkan kembali. Berapa banyak oknum penegak hukum yang mencegah dan memberantas Korupsi justru mereka yang ditangkap melakukan korupsi.

Secara sosiologis, ini menandakan bahwa ada yang belum benar dalam mencegah dan memberantas Korupsi.

Secara sosiologis, pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan adanya kejadian tersebut akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Karena memang, penegakan hukum baru menghasilkan daya guna yang maksimalkan ditengah masyarakat, apabila tingkat kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum itu tinggi.

Tanpa adanya tingkat kepercayaan penegakan hukum yang tinggi, masyarakat akan menganggap penegakan hukum tersebut sebagai proses kekuasaan. Apabila ini terjadi, pencegahan dan pemberantasan Korupsi akan menemukan jalan terjang dikemudian hari.

Mendesign manusia anti korupsi saat ini sudah darurat untuk dilaksanakan. Menurut Frankl seorang tokoh eksistensial-humanistik menyatakan bahwa, pada diri manusia disamping terdapat dimensi (raga) dan dimensi mental (psikis), terdapat juga dimensi lain yaitu dimensi (rohani).

Dimensi rohani kata Frankl merupakan dimensi yang dapat menjadikan manusia sebagai “seorang manusia”. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Patterson, dimensi spritual merupakan ciri pokok eksistensi manusia.

Dimensi spritual ini sebagaimana yang dikatakan oleh Patterson secara fenomelogi dapat tercermin melalui kesadaran diri pada manusia. Dimensi spritual ini yang menimbulkan suara hati, rasa cinta dan estetika.

Karena memang, dimensi spritual dianggap sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang melahirkan suara hati, rasa cinta dan estetika.

Manusia Anti Korupsi adalah manusia yang mendahulukan aspek rohani dalam setiap perbuatan. Karena menang, perkembangan dan kemajuan zaman yang tidak terkendali saat ini sangat perlu mendengarkan suara hati dan rasa cinta dalam membuat kebijakan untuk rakyat banyak.

Terlebih lagi dalam melakukan penegakan hukum Korupsi, menjalankan pemerintahan serta dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi manusia anti korupsi itu tidak sulit sebenarnya, apabila kita tahu, mana hak dan kewajiban.

Jika manusia sudah tahu mana hak dan kewajiban, hukum pidana sepertinya tidak perlu lagi bekerja maksimal dalam menertibkan manusia jahat yang merampok uang rakyat (Koruptor,red).

Kedepan yang perlu dilakukan adalah, manusia-manusia yang mencegah dan memberantas korupsi adalah manusia yang memang tidak memikirkan aspek duniawi dalam melaksanakan kewajiban.

Namun, kesejahteraan mereka perlu diperhatikan dengan serius. Tanpa perbaikan kesejahteraan, maka persoalan korupsi akan menjadi perbincangan disetiap sudut-sudut kehidupan warga Negara.

Selamat hari anti korupsi. Semoga Indonesia Menjadi Negara Maju!!

Penulis: Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH.
Direktur FORMASI RIAU dan Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, saat ini sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru.