Haidir Anwar Tanjung:
Selamat Jalan Sang Wartawan Sejati
By: Wahyudi El Panggabean
“Hidup ini adalah: gumpalan awan. Datang mengepul. Kemudian sirna dari tatapan”. (Voltaire, Sastrawan Perancis)
Pukul 23.45 WIB. Kamis,19 November 2020. Aku baru tiba di Kota Bagan Siapiapi.
Perjalanan darat dari Pekanbaru, sekitar 5,5 jam. Melelahkan juga. Di kamar 209 Hotel Lion, aku mencoba merebahkan keletihan (Istirahat).
Android sejak tadi aku nonaktifkan, segera kubuka. Ya, Allah…mataku langsung dikejutkan pesan dan kiriman poto di layar Wasshap dari Pemimpin Redaksi Media Berita On-Line: www.cakaplah.com, Dian Al Hadi Saputra:
“Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…Bang Haidir Tanjung Wartawan Detik.Com, telah mendahului kita, Pak..” isi pesan singkar tersebut.
Haidir Anwar Tanjung meninggal dunia pada Kamis 19 November 2020 malam sekitar pukul 22.00 di Rumah Sakit Eka Hospital Pekanbaru.
Aku langsung menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Lama aku terdiam. Merenung. Pikiranku menerawang ke masa silam.
Aku ingat suatu siang yang terik, awal Mei 1993. Kala itu, aku tengah bekerja, mengedit berita.
Suasana di Redaksi Surat Kabar Mingguan (SKM) GENTA di Jalan Pangerat Hidayat No. 31, Pekanbaru tempatku bekerja siang itu, terasa adem. Senyap.
Terdengar telepon berdering di meja Sekretaris Redaksi (Sekred), Rita Zahara. “Bang, Wahyudi…Ada telepon untuk Abang dari Kantor Humas Gubernur,” ujar Sekred.
Aku segera meraih gagang telepon. Langsung terdengar suara terbata dari Penelpon:
“Halo…?! Selamat Siang, Tulang. Aku Haidir Tanjung, ponakan Ali Basya Ritonga, kawan Tulang. Aku mau ketemu Tulang. Aku datang ke sana ya..?!”
Lima belas menit kemudian, aku menemui seorang pria 20-an, duduk di kursi tamu.
“Aku Haidir Tanjung, Tulang,” seraya menyodorkan tangannya. Dia tersenyum. Aku perhatikan pakaiannya, agak lusuh basah oleh keringat. Bersandal jepit kulit, warna hitam
Kami berkenalan. Kami bercerita tentang kampung halaman. Haidir berasal dari Bandar Pulau, Kisaran.
Haidir merantau ke Pekambaru mengikuti pamannya, Ali Basya Ritonga. Saat itu Ali Basya mengelola Usaha Agency Koran di Jalan Pepaya, Pekanbaru.
Kemudian, dia menyodorkan tiga lembar kertas polio berisi ketikan tulisan.
“Tolong ya, Tulang periksa dan diedit. Semoga bisa dimuat di GENTA,” katanya berharap.
Meski aku sudah berkeringat memolesnya, tulisan itu hanya “layak naik” di Rubrik Surat Pembaca.
Tetapi, begitu koran terbit, saya lihat Haidir begitu bangga membacanya. Tulisan sederhana. Tulisan pertama-nya.
Semenjak itu, Haidir terus menempelku. Ke mana-mana. Di rumah, dia kuajar teori. Di lapangan ku ajar praktek saat liputan.
“Beginilah cara harimau melatih anaknya, Dir (panggilan singkat). Praktek langsung di hutan. Aku induk harimau, kau anak harimau,” mendengar itu Haidir terkekeh.
Oktober 1994, peristiwa pembakaran Pasar Minggu di Pantai Cermin, Kampar sempat heboh.
Laporanku yang di muat Majalah FORUM Keadilan, satu-satunya berita yang menyebut pembakaran pasar itu atas perintah Bupati.
Itu berita pertamaku di media besutan Karni Ilyas itu. Berita itu pula yang menjembataniku, jadi wartawan di media kawakan itu.
Haidir semakin merapat. Beberapa liputan berisiko kujalani bersama Haidir. Termasuk peristiwa Mahato I. Hanya kami wartawan yang menembus TKP.
Pekanbaru-Mahato kami tempuh mengendarai sepeda motor bekas hasil kreditanku. Pulang-Pergi kami diguyur hujan.
Sistim pelatihan langsung dijalani Haidir bersamaku sekitar 4 tahun. Haidir kutempa cara menulis berita, menulis laporan hasil liputan kami. Haidir belajar secara intensif.
Haidir juga sudah bagian dari keluargaku. Terkadang dia tinggal di rumahku.
Dengan latihan rutin yang dijalaninya, mental dan ilmu jurnalisnya, memang terbangun. Haidir, tipe pria serius yang sangat mencintai profesi jurnalis.
Wajar, jika aku berharap kelak muridku ini menjadi Jurnalis hebat sesuai cita-citanya. Ternyata, Tuhan memang mengabulkannya.
Liputannya tentang konflik warga Pangkalan Kerinci dengan PT. RAPP, menyebabkan Marganti Manalu, pendamping warga, ditangkap.
Tetapi, peristiwa yang dikenal dengan “Penyerbuan Sholat Magrib” itu telah menjadikan Haidir sebagai wartawan Majalah Ummat, Jakarta, untuk Riau.
Tiga hari setelah laporan Haidir, tentang konflik itu dimuat di Majalah Ummat, terjadi demo mahasiswa di Pekanbaru.
Demonstran, protes atas tindakan PT. RAPP yang menyerbu warga yang tengah sholat. Suasana heboh. Haidir diburu.
Haidir sempat berlindung ke Sumatera Utara menghindari aparat.
Tahun 1998, hasil liputan kami tentang Istana Siak, dimuat di Majalah FORUM Keadilan dan Majalah Ummat.
Tulisan di Majalah Ummat itu kemudian di ikutkan Haidir dalam Lomba Menulis bagi Wartawan Riau yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Riau. Haidir Juara II.
“Aku dapat hadiah uang tunai Rp 5 juta. Ambillah separo untuk Tulang,” katanya.
Aku tak tega.
“Kirimkan bagianku untuk ibumu di kampung, Dir…” Haidir menangis, memelukku.
Sayang, di tengah eskalasi karier jurnalistiknya, media ini keburu: tutup.
Awal era Revormasi aku memperkuat Majalah TEMA bersama Alm. Jupernalis Samosir dan Irwan E Siregar, Haidir kubawa ikut serta. Majalah ini berumur pendek.
Aku kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian Media Riau yang diluncurkan Gubri Saleh Jasit, malam 14 April 1999 di Hotel Arya Duta.
Sejak saat itu, koalisi jurnalistik Aku-Haidir mulai pisah. Haidir memilih tidak ikut bergabung ke media yang saya pimpin. Terakhir, Haidir berhasil menjadi wartawan detik.com.
Karier jurnalistiknya saya lihat terus berkembang. Di tengah kesibukannya, Haidir juga berhasil menyelesaikan studinya di S-1 Fakuktas Hukum Universitas Lancang Kuning. Kemudian lanjut ke Program Pasca Sarjana.
Saya lihat kehidupannya juga sudah lumayan sejahtera. Aku senang atas keberhasilan muridku ini.
Agustus 2017, kami benar-benar bertemu dalam satu institusi yang sama. Tetapi, kali ini bukan lagi di dunia jurnalistik. Melainkan di Dewan Kehormatan Daerah, (DPD) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pekanbaru.
Aku dan Haidir dilantik jadi Hakim Ad-hoc, Dewan Kehormatan PERADI Pekanbaru yang diketuai Dr. Suhendro, M.H.
Sebagai Hakim Ethik tugas kami mengadili para Advokat yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran ethik (moral).
Beberapa perkara kami duduk satu majelis. Tetapi Haidir sering absen sidang karena panggilan tugas jurnalistiknya.
Ramadhan tahun silam, usai sidang di Dewan Kehormatan PERADI kami berbuka bersama di sebuah rumah makan.
Usai berbuka, Haidir berkonsultasi tentang tata cara menulis buku.
“Aku mau menulis dan menerbitkan buku, Tulang. Buku dari hasil liputanku tentang si Bonita, harimau pemangsa manusia di Inhil,” kata Haidir, sembari menyulut rokoknya.
Seperti biasanya. Seserius apapun cerita kami ujung-ujungnya pasti ketawa-ketawa. Aku kembali mengeluarkan koleksiku berupa cerita dongeng tentang harimau.
Dongeng tentang: “Kenapa Harimau tidak Ada di Hutan Kalimantan…”
Mendengar cerita itu, Haidir sampai terbatuk-batuk terkekeh-kekeh.
Ternyata, itulah terakhir kami bertemu. Vita Brevis Art Longa. Hidup ini singkat. Tetapi, kebaikan berumur panjang.
Selamat jalan bere, Haidir Anwar Tanjung, S.H..
Selamat jalan Jurnalis Sejati.
Beristirahatlah dengan damai….**